Sunday, March 13, 2022

Puisi "Awal yang Baru"

 

AWAL YANG BARU

Karya Ade Irawan Setiawan

 

Saat malam mulai datang

Suasana sunyi senyap

Aku terbujur dalam kekakuan

Karena hati yang terpasung dalam kesepian

 

Kesedihan dengan kesendirian

Seakan menggugurkan sejuta harapan

Canda dan tawa tak lagi ada

Yang ada hanyalah hati yang terluka

 

Sepinya malam berlalu sudah

Pagi datang mengawali hari baru

Aku terbangun dari tidur panjang

Perlahan bangun dan bergerak

Membuka jendela, tersiratlah cahaya mentari pagi

 

Menyinari,,

Menghempaskan semua khayalan kepahitan

Aku sambut dengan sesuatu yang indah

Wujudkan misteri cita dan cinta

Mewarnai hari-hari

Dengan cinta dan senyuman

Kusambut cinta yang baru

Saturday, March 12, 2022

Cerpen "Kisah Pemulung Kecil"

 

KISAH PEMULUNG KECIL

Karya Ade Irawan Setiawan

 

        Seorang gadis kecil, beralas kaki karet tipis, penutup kepala berwarna hitam, dan, berpakaian compang membawa sebuah kantong berukuran besar, berdiri di tepi jalan depan rumahnya. Dia adalah anak yang terbilang masih kecil, karena umurnya masih 13 tahun. Rima, itulah namanya. Sejak ibunya meninggal ia sudah hidup mandiri mengurusi segala keperluan ayah dan kedua adiknya, ia juga menjadi tulang punggung keluarganya.

        Ayahnya yang hanya seorang buruh serabutan memaksa ia untuk mencari tambahan uang demi kelangsungan hidupnya. Ia rela bekerja apa saja demi mendapatkan uang dan salah satunya dengan mencari barang-barang bekas dijalanan, bahkan mengorek-ngorek setiap tong sampah yang menurutnya bisa mendapkan rezeki. Tak ada rasa malu hinggap dalam dirinya. Karena baginya hidup itu penuh perjuangan, apa saja harus dilakukan asalkan itu benar. Rima tinggal di rumah yang sebenarnya tak layak disebut rumah. Warna tembok yang sudah agak kusam, dinding yang sudah rapuh dan genteng yang pada bolong menandakan rumah itu sudah tak layak dihuni. Tapi, itulah satu-satunya tempat tinggal yang ia miliki. Ia tinggal bersama ayah dan kedua adiknya. Ayahnya adalah seorang buruh serabutan dan kedua adiknya yang masih sangat kecil. Setiap hari sepulang sekolah ia selalu mencari tambahan uang dengan mencari barang-barang bekas dijalanan.

        Pagi itu cuaca begitu mendung, awan hitam menyelimuti setiap lorong dalam sudut bumi. Tak ada setitik cahaya terang menyinari. Dinginpun terasa menusuk rongga-rongga di setiap tubuhku, "akh pagi yang begitu dingin".

        “Tapi aku tak bisa hanya terus diam dan menunggu keajaiban datang, aku harus menjemput sepotong rezeki yang ku bisa dapatkan hari ini. Jika aku terus bermalas-malasan mungkin hari ini aku tak bisa makan, adik-adikku juga pastinya akan kelaparan. Aku harus bergegas pergi mencari  sesuap nasi hari ini”.

        “Nak kenapa hari ini kamu tidak sekolah?”, sahut ayahku.

        “Tidak pak, hari ini kan hari minggu”.

        “Oh iya, bapak lupa nak”.

        “Lantas hari ini kamu mau kemana nak?”

        “Aku mau mencari barang-barang bekas pak, lumayan buat nambah-nambah uang saku dan untuk makan hari ini”.

        “Maafkan bapak nak, selama ini bapak belum pernah membahagiakan kamu. Bapak hanya selalu saja menyusahkan kamu”.

        “Tidak apa-apa pak, selagi aku bisa kenapa tidak”.

        “Lantas, apakah kamu tidak malu mencari barang-barang bekas dari sudut jalan satu ke jalan yang lain?”.

        “Kenapa mesti malu pak, itu kan suatu pekerjaan yang halal”.

        “Kamu memang anak yang baik nak, bapak bangga mempunyai anak seperti kamu”.

        “Ya sudah pak Rima berangkat dulu”.

        “Hati-hati nak”.

        “Iya pak”.

        Tak berselang beberapa lama, Rima pergi dengan hati yang gembira, dan berharap hari ini mendapatkan barang-barang bekas yang banyak. Dia telusuri setiap sudut jalan berharap menemukan apa yang ia cari. Dengan mata yang tajam, ia kemudian memungut setiap barang yang ia dapatkan, ia korek-korek setiap tong sampah yang ia temukan. Ia simpan barang itu dalam sebuah karung yang kotor dan sudah agak kusam. Tak pernah ada rasa malu hinggap dalam dirinya, meskipun terkadang ada sebagaian orang yang menganggap pekerjaan sebagai pemulung adalah pekerjaan yang kotor dan hina. Tapi tidak bagi dia. Menurutnya itu pekerjaan yang menyenangkan dan sekaligus pekerjaan yang menurutnya sangat baik. Karena ia bisa sekaligus membersihkan setiap sampah yang berserakan di setiap sudut jalan. Dia berjalan menelusuri setiap sudut pinggir jalan, dengan wajah yang kusut dan badan begitu lusuh. Berjalan dengan langkah kaki kecil dan mata yang tajam berharap menemukan sepotong rezeki untuknya. Dia telusuri seluruh sudut jalan tanpa lelah. Itulah hal yang bisa ia kerjakan untuk menyambung hidupnya esok hari. Jemari lentik sang gadis manis sebaya anak-anak tingkat 6 sekolah dasar, terus bermain di dalam kaleng bundar berukuran besar, pengais besi panjang bagai kail untuk memacing ikan, botolan kosong, sampai sobekan sobekan kardus yang tak berbentuk seperti kubus, dengan terduduk sang gadis memasukan satu persatu barang barang rongsokan dalam sebuah karung yang ia pikul, yang ia dapatkan dari setiap tong sampah yang ia temukan.

        “Aku tak peduli orang-orang yang terus menghina karena pekerjaanku, yang penting aku dapat uang dan bagiku ini pekerjaan yang halal”.

        Rima terus berjalan menelusuri setiap sudut jalan, dari satu tempat ke tempat lain ia cari barang-barang bekas dan memungutnya. Hari sudah semakin siang, tapi barang-barang bekas yang ia dapatkan sedikit dan tak cukup untuk dijual. Tapi ia tak pernah putus asa, ia terus berjalan meskipun rasa lelah mulai terasa menghinggapi tubuhnya. Badannya mulai terasa pegal, kaki yang sudah terasa sakit, dan mulut yang mulai terasa kering tak pernah ia rasakan. Ia tak peduli dengan rasa capek yang ia rasakan, baginya yang penting hari ini ia bisa dapatkan banyak barang-barang bekas untuk ia jual. Tak berselang beberapa lama ia bertemu dengan teman sekolahnya Ani.

        “Rima, apa yang sedang kamu lakukan ditepi jalanan ini?” tanya Ani.

        “Aku lagi bekerja An”

        “Lantas apa yang kamu kerjakan”

        “Aku mencari barang-barang bekas untuk aku jual, karena aku sangat membutuhkan uang untuk menyambung hidupku esok hari”.

        “Apa kamu tidak merasa malu?”

        “Kenapa mesti merasa malu, toh ini merupakan pekerjaan yang halal. Bagiku, apapun akan aku kerjakan asalkan mendapatkan uang”.

        “Kamu memang anak yang baik Rim, aku bangga mempunyai teman sebaik kamu. Kamu sangat berbakti kepada orang tuamu”.

        “Aku hidup sebagai anak yang tak punya, bapakku bekerja serabutan. Jadi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membantu ayahku. Kamu beruntung An, kamu hidup berkecukupan. Apapun yang kau mau, pasti terlaksana. Sedangkan aku, untuk makan aja susah. Mungkin memang sudah nasibnya aku hidup susah, tapi aku selalu bersyukur karena mempunyai keluarga yang sangat menyayangiku”.

        “Ya sudah Rim, aku pulang dulu. Ibuku sudah menunggu dirumah. Kamu hati-hati aja Rim”.

        “Makasih An”.

          Waktu terus berjalan, awan hitam mulai menyelimuti langit putih yang cerah. Lembayung senja turun, dinginpun mulai terasa menandakan malam mulai datang. Tetapi ia terus berjalan menuju tempat dimana ia bisa jual barang-barang bekas yang ia kumpulkan hari ini.  Keringat dingin terus membasahi tubuhnya yang lusuh,  sesekali ia berhenti di tepi sudut jalan menghilangkan rasa lelah yang ia rasakan.

        “Aku harus cepat pulang, ayah dan kedua adikku mungkin sudah menungguku dirumah. Aku harus segera menjual barang-barang yang aku kumpulkan hari ini”. Rima kemudian bergegas pergi menuju tempat dimana ia biasa menjual barang-barang bekas. Jarak yang ia tempuh lumayan cukup jauh, sehingga membuat badannya terasa letih dan capek, tapi ia tak pernah mengeluh. Karena untuk mencapai suatu hal itu butuh perjuangan, tidak hanya menunggu keajaiban datang. Akhirnya ia sampai ditempat pengepul barang-barang bekas, ia bergegas mengeluarkan seluruh barang-barang bekas dari dalam kantong dan berharap barang yang ia kumpulkan cukup berat.

        Dalam ruangan yang cukup luas dan penuh dengan barang-barang rongsokan, berdiri seseorang dengan tubuh yang cukup kekar dan raut wajah yang mulai agak keriput, menandakan dia sudah cukup tua, dia adalah pak Anto. Dia adalah seorang bos pengepul barang-barang bekas. Setiap orang atau pemulung yang ingin menjual  barang-barang bekas selalu menjual kepadanya. Orangnya sangat baik, karena ia selalu membeli barang-barang bekas dengan harga yang cukup tinggi. Dia juga sering memberi pinjaman kepada orang yang membutuhkan bantuannya. Rima kemudian menghampiri bos pengepul itu untuk menjual barang-barang bekasnya.

        “Maaf pak, saya mau menjual sedikit barang-barang bekas yang saya kumpulkan hari ini”. Sahut Rima.

        “Oh iya nak, sini biar bapak timbang beratnya. Kamu tunggu sebentar ya”.

        “Iya pak.”

        “Nak, beratnya hanya 15kg”.

        “Lantas berapa uang yang bisa saya dapatkan pak?.

        “Hanya 15rb nak, karena perkilonya itu seribu rupiah”.

        “Oh, ga apa-apa pak mungkin rezeki yang bisa saya dapat hanya itu. Saya masih bersyukur karena dengan uang itu ayah dan kedua adik saya bisa makan malam ini”.

          “Ini nak uangnya, bapak kasih lebih untukmu”.

          “Terima kasih banyak pak, bapak sungguh baik. Tapi kenapa bapak memberikan uang lebih kepada saya?”.

        “Karena kamu anak yang baik nak, kamu sangat berbakti kepada orang tuamu. Kamu rela bekerja menjadi pemulung barang-barang bekas untuk mendapatkan uang”.

        “Jika saya tidak bekerja, ayah dan kedua adik saya mungkin akan kelaparan, saya tidak tega melihat mereka tidak makan hari ini”.

        “Sungguh mulia pengorbananmu nak, semoga kelak kamu menjadi anak yang bisa membahagiakan kedua orang tuamu. Kamu rela mengorbankan masa-masa kecilmu dengan bekerja, tidak seperti anak-anak lain yang masih ingin bermain dan masih menjadi tanggungan orang tuanya. Kamu justru menjadi tulang punggung untuk keluargamu.”

        “Terima kasih banyak pak, semoga kebaikan bapak dibalas oleh Tuhan, dan usaha bapak menjadi tambah besar”.

        “Sama-sama nak, andaikan bapak mempunyai anak sepertimu bapak akan menjadi seorang ayah yang paling bahagia di dunia. Karena kamu itu sungguh anak yang mulia.”.

        “Saya tidak tega melihat ayah dan kedua adik saya menderita, oleh karena itu, dengan terpaksa saya harus rela bekerja apa saja untuk mendapatkan sedikit uang”.

        “Lantas kenapa kamu bekerja menjadi seorang pemulung, tidak adakah pekerjaan lain yang bisa kamu kerjakan?”.

        “Menjadi seorang pemulung bukanlah suatu hal yang saya harapkan. Saya terpaksa bekerja seperti ini, karena inilah yang bisa saya lakukan.Tapi kelak saya ingin menjadi seorang yang sukses yang bisa membahagiakan kedua orang tua”.

        “Bapak berdoa, semoga apa yang kamu cita-citakan bisa tercapai”.

        “Amin, terima kasih pak. Ya sudah pak saya pulang dulu,  karena hari sudah semakin gelap. Mungkin ayah dan kedua adik saya sudah menunggu dirumah. Saya harus bergegas membeli makanan untuk ayah dan kedua adik saya”.

        “Ya sudah nak hati-hati dijalan?”.

        “Terima kasih pak”.

Menjadi seorang anak yang bekerja sebagai pemulung bukanlah suatu hal yang aku inginkan. Setiap kali aku mengais barang bekas di jalanan dan di tong sampah, aku bisa langsung mengerti bagaimana sesungguhnya banyak dari orang-orang yang tidak terlalu bisa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Tuhan. Banyak kesia-sian yang terbuang di setiap tong sampah yang aku temui, hanya karena merasa mampu untuk memiliki atau membelinya lagi. Aku senang dan bersyukur atas apa yang aku dapati saat ini. Hanya bertanya pada diri sendiri, mengapa harus berlebihan mereka lakukan jika mereka bisa cukup dengan yang sederhana, mereka membuang tanpa berpikir apakah itu masih berguna atau tidak. Jika aku melakukan hal yang mereka kerjakan setiap waktu, sudah pasti aku tidak akan mendapatkan apa yang aku cari di tong sampah. Ya, aku senang dengan semua yang aku dapati, seperti yang aku bilang tadi. Tapi, jika mereka ingin menderma atau bersedekah, apakah harus mereka melemparnya ke tong sampah? Mengapa tidak membungkusnya dan memberikan kepadaku dengan cara yang lebih baik? Aku hanya mengerti, bahwa jarak tetap harus dibuat bersama batas-batas yang tidak boleh dilanggar, antara si miskin dan si kaya.

Sore hari, ketika karung yang aku bawa sudah kosong dan mendapatkan hasil menjual barang-barang bekas yang aku dapatkan hari ini, aku bergegas pulang sebelum waktu magrib datang. Hasil yang aku dapatkan hari ini, cukuplah untuk makan ayah dan kedua adikku. Dari setiap jerih payah yang kudapat itu, aku pakai untuk memenuhi kehidupanku sehari-hari. Sedikit aku sisihkan untuk biaya sekolahku dan adik-adikku kelak. Aku ingin, kelak masa depan adik-adikku tak seburam seperti yang aku lakukan saat ini.  Uang yang aku sisihkan memang tidak banyak. Tapi rutin aku sisihkan setiap hari. Jadi, tidak ada yang istimewa dari kehidupanku. Tapi aku percaya Tuhan pasti mengabulkan semua doa dan cita-cita yang aku harapkan dimasa depan nanti.

        Cuaca sudah semakin gelap, Rima kemudian bergegas pulang dan membeli beberapa makanan untuk ayah dan kedua adiknya. Dengan langkah kaki yang pendek dan badan yang sudah letih, keringat dingin terus membasahi seluruh tubuhnya. Ia terus berjalan mencari warung nasi dan berharap masih ada yang buka. Gelap malam tak menghalanginya untuk tetap berjalan. Semilir angin malam seakan menusuk rongga-rongga disetiap tubuhnya, tapi itu tak menjadi halangan untuk ia terus berjalan.

        Ditengah malam yang dingin, Rima berjalan menelusuri lampu-lampu kota yang indah. Serta riuh suara mesin yang seakan-akan meneriakan sebuah penderitaan yang tersembunyi. Akhirnya ia menemukan warung nasi yang masih buka, dan bergegas ia menuju kesana untuk membeli beberapa bungkus nasi untuk ayah dan kedua adiknya.

        “Bu, nasi+telor dadar 3 bungkus ya?”. Sahut Rima.

        “Iya nak, tunggu sebentar”. Jawab pedagang warung itu.

        “Semuanya jadi berapa bu?”.

        “8rb nak”.

        “Ini bu uangnya, ya sudah terima kasih bu”.

        Setelah membeli 3 bungkus nasi ia bergegas pulang, karena ia tau ayah dan kedua adiknya sudah menunggu dirumah.

        “Mudah-mudahan ayah dan kedua adikku belum merasa lapar. Lumayan masih tersisa sedikit uang, uang ini akan aku tabung untuk masa depan kedua adikku”. Pikir Rima dalam hati. Malam semakin larut, ia pun bergegas untuk segera pulang.

        Sesampainya dirumah, ia melihat ayah dan kedua adiknya sedang berbaring dalam sebuah tikar di dalam sebuah ruangan yang agak sempit. Dilihatnya mereka sedang tertidur pulas, ia agak agak ragu untuk membangunkan mereka. Tapi mereka harus segera makan, karena ia tau mereka pasti sudah sangat lapar. Dengan langkah kaki yang pelan, dan sedikit ragu ia menghampiri ayahnya.

        “Pak bangun, Rima sudah pulang. Ini rima bawakan nasi untuk Bapak dan adik-adik”.

        “Kamu darimana saja nak, ko tumben pulang selarut ini?”.

        “Tadi Rima mencari barang-barang bekas cukup jauh pak, makanya pulang agak larut malam. Ya sudah sekarang bapak dan adik-adik makan dulu, karena Rima tau bapak pasti sudah sangat lapar”.

        “Terus kenapa kamu ga makan nak?”.

        “Saya tidak lapar pak, lagipula saya juga sudah makan tadi dijalan”.

        “Oh ya sudah nak, bapak makan dulu”.

        “Rima juga mau mandi dulu pak”.

       

        Setelah selesai mandi, aku segera merapikan buku dan semua keperluan untuk sekolahku besok. Meskipun aku anak miskin, tapi semangat belajarku sangat tinggi. Aku tidak mau terus hidup seperti ini, dan menggapai semua cita-citaku menjadi seorang guru. Malam sudah semakin larut, suara-suara jangkrik menandakan waktu sudah semakin malam. Aku bergegas tidur, dan berharap besok tidak bangun kesiangan.

 

 

 

        Kumandang adzan mengema, lantunan-lantunan suara mengagungkan nama sang kuasa, sang pemberi hembusan nafas tiap-tiap insan yang masih terlelap dalam mimpi, berebah, terbaring di sebuah rumah yang berada di sudut kota. Kota yang ternama, namun banyak orang yang dapat merasakan kebahagiaan disini. Tapi tidak denganku, kesusahan yang selalu aku sering rasakan. Suara adzan mengema seantero kota, bersautan dari ujung-ujung setiap sudut rumah-rumah Tuhan. Pagi yang masih begitu gelap dan terasa sangat dingin, sang surya masih enggan menampakan sinarnya yang menyejukan kalbu. Suara burung berirama membangunkanku dari tidur yang panjang. Semilir angin menghentakkan tubuhku yang kaku. Aku terbangun dari mimpi yang indah, mimpi dimana aku bukanlah seorang gadis yang miskin.

         “Akh itu hanya sebuah mimpi, andaikan itu menjadi suatu kenyataan pasti aku menjadi seorang anak yang paling bahagia. Bagaimana tidak, dalam mimpiku, hidupku berkecukupan dengan rumah yang mewah, harta yang banyak dan makanan yang enak-enak. Tapi sayang itu hanyalah sebuah mimpi, ya sudahlah aku tidak boleh terus meratapi nasibku yang malang. Mungkin inilah jalan hidupku, hidup sebagai anak yang tak punya. Tapi aku bersyukur mempunyai keluarga yang amat sayang kepadaku”.

        Waktu sudah menunjukan jam 04.30 pagi, “sial aku kesiangan lagi, ini karena tadi aku terlalu banyak berkhayal yang tidak-tidak”. Aku harus segera membangunkan ayah dan kedua adikku untuk segera melaksanakan sholat shubuh berjamaah.

        “Pak bangun, ayo kita shalat shubuh berjamaah?”.

        “Memangnya sekarang sudah jam berapa nak?”.

        “Sudah jam 04.30 pagi pak”.

        “Ya sudah, bapak mau ambil air wudlu dulu. Kamu bangunkan dulu adik-adikmu”.

        “Baik pak”.

        Setelah itu kami melaksanakan shalat subuh bersama-sama. Rasanya aku sangat bahagia dengan keadaanku yang sekarang. Meskipun aku hidup miskin, tapi kebesamaan keluarga adalah sesuatu yang sangat berharga dibandingkan harta. Setelah selesai, aku bergegas merapikan semua keperluan sekolahku, dan bergegas berangkat agar tidak kesiangan.

 

 

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

        Rutinitasku sebagai seorang gadis kecil yang kesehariannya bekerja sebagai pemulung, kulanjutkan  hari ini. Sehabis sepulang sekolah, aku bergegas mempersiapakn segala keperluan yang aku butuhkan. Sebuah karung besar, dan pengait besi selalu menemaniku dalam bekerja. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju tempat dimana aku bisa mengais rezeki. Hari ini, aku coba pergi ketempat dimana terdapat tumpukan-tumpukan sampah yang berserakan, yang disebut tempat pembuangan akhir atau TPA Tempat dimana lalat-lalat beterbangan kesana kemari,  dan tempat yang sangat jauh dari keadaan bersih. Bau yang sangat menyengat tak menjadi penghalang  bagiku. Orang-orang yang berprofesi sama sepertiku, seakan berlari mengejar waktu. Mereka mencari sobekan kardus bekas, botol-botol plastik, dan barang-barang lainnya, yang mereka bisa jual. Begitu juga yang kulakukan, tak jauh berbeda seperti mereka.

        Aku mulai mengorek-ngorek setiap tumpukan sampah yang aku temui, berharap kudapatkan apa yang aku cari. Satu persatu barang bekas aku temukan, kumasukan dalam sebuah karung yang aku pikul dalam pundakku. Rasa lelah mulai terasa merasuki seluruh tubuhku. Tapi, tak pernah  aku rasakan. Karena bagiku, kerja keras harus aku lakukan untuk sesuap nasi yang bisa aku beli dari hasil mengumpulkan barang-barang bekas.

          Waktu sudah semakin siang, hawa panas semakin aku rasakan. Keringat terus mengucur dari setiap lekukan tubuhku, hingga membasahi sebagian bajuku. Aku sempatkan diri untuk beristirahat sejenak dibawah pohon yang terdapat di sudut pembuangan sampah itu. Kadang juga disela-sela istirahku, aku  sering berpikir...

 

 “mengapa sungguh kejam hidup ini. Untuk membeli sebungkus nasi saja aku harus berusaha sendiri, aku terlebih dahulu harus memungut secuil barang yang orang sering buang, yang mereka anggap tidak berharga, tapi bagiku itu sangat berharga, yang aku bisa tukarkan untuk mendapatkan sedikit uang. Ironis memang, di keramaian kota yang penuh dengan segudang aktivas dan kemewahan yang mereka rasakan, tapi menapa aku tidak pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Jika saja dulu aku dilahirkan dari rahim seorang pengusaha kaya, mungkin nasibku tidak akan seburuk ini. Pasti aku akan hidup senang dengan segala kemewahan yang bisa aku dapatkan. Tapi sayang, itu hanya mimpi belaka. Karena aku sudah ditakdirkan lahir dari keluaraga yang miskin. Mungkin aku tidak akan merasakan seperti mereka, yang semuanya sudah disediakan oleh orang tuanya yang selalu mencintai dan menyayanginya.. Hidup serba kecukupan, mau makan apa aja tinggal minta, mau hiburan apa aja sudah tersedia. ohh, sepertinya ingin hidup yang berkecukupan selalu menjauh dariku. Tapi, aku tidak akan pernah putus asa. Mungkin dimasa depan, aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Ya,,,,, dengan kerja keras tentunya”.

 

Setelah cukup lama beristirahat, kuputuskan untuk kembali mencari barang-barang bekas. Karena barang yang aku kumpulkan masih sedikit, belum cukup untuk aku jual. Tak berselang beberapa lama, aku melihat sebuah tas yang berwarna hitam dengan ikat selendang yang sudah rusak tersembunyi dibalik tumpukan-tumpukan sampah. Kuputuskan untuk mengambil tas itu. Kudekati, dan kusimpan dalam kantong yang aku bawa. Terasa berat memang. Aku mulai curiga apa. Sebenarnya  yang terdapat dalam tas itu.

 “Akh, mungkin hanya kertas-kertas bekas”  Pikirku.

        Aku mulai penasaran dan kuputuskan untuk segera membuknya. Ku pegang resletingnya dan kubuka sedikit demi sedikit. Entah kenapa perasaanku tidak enak, sesungguhnya apa yang terdapat dalam tas ini. Aku sungguh terkejut dengan yang aku lihat. Tanganku bergetar hebat, detak jantungku berdetak kencang, melihat gepokan-gepokan uang berwarna merah, dengan pecahan 100rb yang terdapat dalam tas itu. Kalo dihitung, jumlahnya berkisar milyaran rupiah.

        “Ya Tuhan, apakah ini hanya sebuah mimpi?”

        Aku cubit kedua pipiku, untuk meyakinkan apakah ini hanya sebuah mimpi semata.

        “Aw.. sakit”

        “Ini memang bukan sebuah mimpi, tapi kenyataan. Tapi, apa yang harus aku lakukan dengan uang ini?”

        “Apakah aku harus membawa pulang uang ini, ataukah menyerahkannya kepada pihak yang berwajib untuk mencari siapa pemilik dari uang tersebut?”

       

        Terkadang hati kecilku berkata, “sudahlah bawa pulang saja uang itu. Dengan uang itu kamu bisa hidup berkecukupan tanpa bekerja seperti ini?” Tapi, aku sadar. Ini bukanlah hak untukku, mungkin diluar sana ada orang lain yang sedang kebingungan mencari uang ini. Meskipun aku hidup susah, aku ga mau mengambil yang bukan menjadi hakku. Setelah beberapa lama berpikir, kuputuskan untuk membawa pulang uang itu dan memberitahukannya kepada ayahku. Aku mulai bergegas pulang. Dengan perasaan yang tidak karuan, kulangkahkan kakiku meskipun sedikit gemeteran. Keringat dingin terus mengucur dari sekujur tubuhku. Aku takut, dijalan ada seseorang yang menghadangku. Kupercepat langkah kakiku, tanpa memberikan perasaan curiga kepada setiap orang yang melihatku. Setelah sampai dirumah, langsung kuhampiri ayahku.

        “Nak kamu kenapa?”

        “Tidak apa-apa pak, tapi.....”

        “Tapi apa nak, coba ceritakan apa yang terjadi denganmu?”

        “Aku menemukan tas ini pak”

        “Lantas, apa yang terdapat dalam tas itu?” Bapaknya mulai penasaran, sebenarnya apa yang terdapat dalam tas tersebut.

        “Isinya ratusan uang pak”

        “Apa... Jangan bercanda kamu nak”

        “Beneran pak, kalo ga percaya bapak lihat saja sendiri”

        Dengan raut wajah yang pucat, Rima memberikan tas itu kepada bapaknya.

        “Astagfirulloh... Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak ini nak, kamu tidak mencuri kan?”

        “Tidak pak. Aku temukan dalam tumpukan-tumpukan sampah”

        “Yang benar nak?”

        “Iya pak”

 

        Mereka mulai berunding tentang uang itu. Setelah cukup lama berdiskusi, mereka putuskan untuk membawa uang itu kepada pihak yang berwajib. Disana mereka memberikan uang itu, meskipun dengan hati yang berat. Tapi ia berfikir, ini bukan rezeki untuknya. Tak berselang beberapa lama, datanglah seorang pria paruh baya turun dari mobil honda jazz berwarna putih yang terbilang sangat mewah. Dan ternyata, dia adalah pemilik dari uang itu, yang hilang dirampok oleh sekelompok penjahat. Orang itu kemudian berterima kasih kepada Rima. Akhirnya, sebagian uang itu diberikan kepada Rima. Rima merasa sangat terkejut dengan apa yang didapatkannya. Ia seolah tak percaya, bisa memegang uang sebanyak itu. Kini, kehidupan rima tak seperti dulu lagi. Sekarang, ia menjadi bos pengepul barang-barang bekas dan hidupnya serba kecukupan.

        “Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan semua doa-doaku”.

       

 

 

 

 

 

 

 

THE END

Tuesday, March 8, 2022

Puisi "Prenjak"


PRENJAK

Karya Ade Irawan Setiawan

 

Mungil

Burung cantik berparuh runcing

Terbang mengendap di samping rumah

Di sela ranting pohon mangga tua

 

Ia berkicau nyaring berulang

Memberi kabar, tamu kan datang

Prenjak

Infomu ternyata benar

 

Kini, tak kulihat lagi

Si mungil burung Prenjak

Kini, tak kudengar lagi

Nyanyian nyaring suaramu

 

Sampai kini, pohon mangga tua

Masih berdiri tegak

Tanpa Prenjak, bernyanyi

Hanya semut dan ulat perusak daun

Yang ada di sana

 

Alam berubah, desa menjadi kota

Yang terdengar hanya

Deru dan jerit suara knalpot pabrik

Serta semburan asap

Polusi yang berbahaya

 

Prenjak, kau benar

Kau tinggalkan alam kotor ini

Kau huni alam yang alami

Jauh di tepi hutan

 

Ku rindu suaramu

Bak signal info alami

Pemberi tahu, tamu kan datang


Ku pandangi sela ranting

Pohon manga tua itu

Tak seekor burung pun ada di sana

Hanya semut dan ulat penghuninya

 

Bangunsirna, 20 Januari 2022

Puisi "Perjalanan Hidup dan Kehidupan

 

PERJALANAN HIDUP DAN KEHIDUPAN

Karya Ade Irawan Setiawan

 

Hidup

Ibarat air mengalir

Dari gunung, bersih, jernih, tanpa kotoran

Begitulah saat kita lahir

 

Air mengalir menuju muara

Itulah kehidupan

 

Tiba di sendang, tempat bidadari mandi

Airnya jernih, segar membuat kita senang

Seakan tak ingin pergi

Tuk tetap tinggal di sana

 

Tapi, air terus mengalir

Hinggap di areal pabrik, airpun tercemar

Jorok, kotor, bau

Tapi tetap kita nikmati

 

Dan air terus mengalir

Hingga tiba di muara tepi laut

Maka selesailah

Perjalanan hidup dan kehidupan kita

 

Kita tinggalkan dunia fana

Dan tiba di alam semesta

Itulah perjalanan hidup

 

Cijeungjing, 8 Maret 2022

 

Puisi Sebuah Pengharapan

 

SEBUAH PENGHARAPAN

Karya Ade Irawan Setiawan

 

 

Deraian doa mengiringi setiap langkah

Terurai bagai noktah tak bertuah

Kemanakah kaki melangkah

Mencari jati diri tiada arah

 

Sejuta harapan menggebu dalam kalbu

Menanti pengharapan tak kunjung padu

Akankah semua ini hanya khayalan

Dari setiap mimpi yang tergores dalam bayangan

 

Harapan tinggal kenangan

Tanpa tau akan menjadi kenyataan

Atau hanya sebuah pengharapan

Yakin pada takdir Tuhan

 

Inikah takdir yang digariskan Tuhan

Untuk setiap insan dalam kahidupan

Berharap jalan terbaik untuk setiap kegelisahan

Tapi Tuhan sudah menakdirkan

 

Sebuah pengharapan

Tertulis dalam angan

Dari setiap kekecewaan

Berharap jadi kebahagiaan

(10-11-2021)

 

 

Puisi "Awal yang Baru"

  AWAL YANG BARU Karya Ade Irawan Setiawan   Saat malam mulai datang Suasana sunyi senyap Aku terbujur dalam kekakuan Karena hati ...