KISAH PEMULUNG
KECIL
Karya Ade Irawan Setiawan
Seorang
gadis kecil, beralas kaki karet tipis, penutup kepala berwarna hitam, dan,
berpakaian compang membawa sebuah kantong berukuran besar, berdiri di tepi
jalan depan rumahnya. Dia adalah anak yang terbilang masih
kecil, karena umurnya masih 13 tahun. Rima, itulah namanya. Sejak ibunya
meninggal ia sudah hidup mandiri mengurusi segala keperluan ayah dan kedua
adiknya, ia juga menjadi tulang punggung keluarganya.
Ayahnya yang hanya seorang buruh serabutan memaksa ia untuk
mencari tambahan uang demi kelangsungan hidupnya. Ia rela bekerja apa saja demi
mendapatkan uang dan salah satunya dengan mencari barang-barang bekas dijalanan,
bahkan mengorek-ngorek setiap tong sampah yang menurutnya bisa mendapkan rezeki.
Tak ada rasa malu hinggap dalam dirinya. Karena baginya hidup itu penuh
perjuangan, apa saja harus dilakukan asalkan itu benar. Rima tinggal di rumah
yang sebenarnya tak layak disebut rumah. Warna tembok yang sudah agak kusam,
dinding yang sudah rapuh dan genteng yang pada bolong menandakan rumah itu
sudah tak layak dihuni. Tapi, itulah satu-satunya tempat tinggal yang ia
miliki. Ia tinggal bersama ayah dan kedua adiknya. Ayahnya adalah seorang buruh
serabutan dan kedua adiknya yang masih sangat kecil. Setiap hari sepulang sekolah
ia selalu mencari tambahan uang dengan mencari barang-barang bekas dijalanan.
Pagi itu cuaca begitu mendung, awan hitam menyelimuti setiap
lorong dalam sudut bumi. Tak ada setitik cahaya terang menyinari. Dinginpun
terasa menusuk rongga-rongga di setiap tubuhku, "akh pagi yang begitu dingin".
“Tapi aku tak bisa hanya terus diam dan menunggu keajaiban
datang, aku harus menjemput sepotong rezeki yang ku bisa dapatkan hari ini.
Jika aku terus bermalas-malasan mungkin hari ini aku tak bisa makan, adik-adikku
juga pastinya akan kelaparan. Aku harus bergegas pergi mencari sesuap nasi hari ini”.
“Nak kenapa hari ini kamu tidak sekolah?”, sahut ayahku.
“Tidak pak, hari ini kan hari minggu”.
“Oh iya, bapak lupa nak”.
“Lantas hari ini kamu mau kemana nak?”
“Aku mau mencari barang-barang bekas pak, lumayan buat
nambah-nambah uang saku dan untuk makan hari ini”.
“Maafkan bapak nak, selama ini bapak belum pernah
membahagiakan kamu. Bapak hanya selalu saja menyusahkan kamu”.
“Tidak apa-apa pak, selagi aku bisa kenapa tidak”.
“Lantas, apakah kamu tidak malu mencari barang-barang bekas
dari sudut jalan satu ke jalan yang lain?”.
“Kenapa mesti malu pak, itu kan suatu pekerjaan yang halal”.
“Kamu memang anak yang baik nak, bapak bangga mempunyai anak
seperti kamu”.
“Ya sudah pak Rima berangkat dulu”.
“Hati-hati nak”.
“Iya pak”.
Tak berselang beberapa lama, Rima pergi dengan hati yang gembira,
dan berharap hari ini mendapatkan barang-barang bekas yang banyak. Dia telusuri
setiap sudut jalan berharap menemukan apa yang ia cari. Dengan mata yang tajam,
ia kemudian memungut setiap barang yang ia dapatkan, ia korek-korek setiap tong
sampah yang ia temukan. Ia simpan barang itu dalam sebuah karung yang kotor dan
sudah agak kusam. Tak pernah ada rasa malu hinggap dalam dirinya, meskipun
terkadang ada sebagaian orang yang menganggap pekerjaan sebagai pemulung adalah
pekerjaan yang kotor dan hina. Tapi tidak bagi dia. Menurutnya itu pekerjaan
yang menyenangkan dan sekaligus pekerjaan yang menurutnya sangat baik. Karena
ia bisa sekaligus membersihkan setiap sampah yang berserakan di setiap sudut
jalan. Dia berjalan menelusuri setiap
sudut pinggir jalan, dengan wajah yang kusut dan badan begitu lusuh. Berjalan
dengan langkah kaki kecil dan mata yang tajam berharap menemukan sepotong
rezeki untuknya. Dia telusuri seluruh sudut jalan tanpa lelah. Itulah hal yang
bisa ia kerjakan untuk menyambung hidupnya esok hari. Jemari
lentik sang gadis manis sebaya anak-anak tingkat 6 sekolah dasar, terus bermain
di dalam kaleng bundar berukuran besar, pengais besi panjang bagai kail untuk
memacing ikan, botolan kosong, sampai sobekan sobekan kardus yang tak berbentuk
seperti kubus, dengan terduduk sang gadis memasukan satu persatu barang barang
rongsokan dalam sebuah karung yang ia pikul, yang ia dapatkan dari setiap tong
sampah yang ia temukan.
“Aku tak peduli orang-orang yang terus menghina karena
pekerjaanku, yang penting aku dapat uang dan bagiku ini pekerjaan yang halal”.
Rima terus berjalan menelusuri setiap sudut jalan, dari satu
tempat ke tempat lain ia cari barang-barang bekas dan memungutnya. Hari sudah
semakin siang, tapi barang-barang bekas yang ia dapatkan sedikit dan tak cukup
untuk dijual. Tapi ia tak pernah putus asa, ia terus berjalan meskipun rasa
lelah mulai terasa menghinggapi tubuhnya. Badannya mulai terasa pegal, kaki
yang sudah terasa sakit, dan mulut yang mulai terasa kering tak pernah ia
rasakan. Ia tak peduli dengan rasa capek yang ia rasakan, baginya yang penting
hari ini ia bisa dapatkan banyak barang-barang bekas untuk ia jual. Tak
berselang beberapa lama ia bertemu dengan teman sekolahnya Ani.
“Rima, apa yang sedang kamu lakukan ditepi jalanan ini?”
tanya Ani.
“Aku lagi bekerja An”
“Lantas apa yang kamu kerjakan”
“Aku mencari barang-barang bekas untuk aku jual, karena aku
sangat membutuhkan uang untuk menyambung hidupku esok hari”.
“Apa kamu tidak merasa malu?”
“Kenapa mesti merasa malu, toh ini merupakan pekerjaan yang
halal. Bagiku, apapun akan aku kerjakan asalkan mendapatkan uang”.
“Kamu memang anak yang baik Rim, aku bangga mempunyai teman
sebaik kamu. Kamu sangat berbakti kepada orang tuamu”.
“Aku hidup sebagai anak yang tak punya, bapakku bekerja
serabutan. Jadi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membantu ayahku. Kamu
beruntung An, kamu hidup berkecukupan. Apapun yang kau mau, pasti terlaksana.
Sedangkan aku, untuk makan aja susah. Mungkin memang sudah nasibnya aku hidup
susah, tapi aku selalu bersyukur karena mempunyai keluarga yang sangat
menyayangiku”.
“Ya sudah Rim, aku pulang dulu. Ibuku sudah menunggu dirumah.
Kamu hati-hati aja Rim”.
“Makasih An”.
Waktu terus berjalan, awan hitam mulai menyelimuti langit
putih yang cerah. Lembayung senja turun, dinginpun mulai terasa menandakan
malam mulai datang. Tetapi ia terus berjalan menuju tempat dimana ia bisa jual
barang-barang bekas yang ia kumpulkan hari ini.
Keringat dingin terus membasahi tubuhnya yang lusuh, sesekali ia berhenti di tepi sudut jalan
menghilangkan rasa lelah yang ia rasakan.
“Aku harus cepat pulang, ayah dan kedua adikku mungkin sudah
menungguku dirumah. Aku harus segera menjual barang-barang yang aku kumpulkan
hari ini”. Rima kemudian bergegas pergi menuju tempat dimana ia biasa menjual
barang-barang bekas. Jarak yang ia tempuh lumayan cukup jauh, sehingga membuat
badannya terasa letih dan capek, tapi ia tak pernah mengeluh. Karena untuk
mencapai suatu hal itu butuh perjuangan, tidak hanya menunggu keajaiban datang.
Akhirnya ia sampai ditempat pengepul barang-barang bekas, ia bergegas
mengeluarkan seluruh barang-barang bekas dari dalam kantong dan berharap barang
yang ia kumpulkan cukup berat.
Dalam ruangan yang cukup luas dan penuh dengan barang-barang
rongsokan, berdiri seseorang dengan tubuh yang cukup kekar dan raut wajah yang
mulai agak keriput, menandakan dia sudah cukup tua, dia adalah pak Anto. Dia
adalah seorang bos pengepul barang-barang bekas. Setiap orang atau pemulung
yang ingin menjual barang-barang bekas
selalu menjual kepadanya. Orangnya sangat baik, karena ia selalu membeli
barang-barang bekas dengan harga yang cukup tinggi. Dia juga sering memberi
pinjaman kepada orang yang membutuhkan bantuannya. Rima kemudian menghampiri
bos pengepul itu untuk menjual barang-barang bekasnya.
“Maaf pak, saya mau menjual sedikit barang-barang bekas yang
saya kumpulkan hari ini”. Sahut Rima.
“Oh iya nak, sini biar bapak timbang beratnya. Kamu tunggu
sebentar ya”.
“Iya pak.”
“Nak, beratnya hanya 15kg”.
“Lantas berapa uang yang bisa saya dapatkan pak?.
“Hanya 15rb nak, karena perkilonya itu seribu rupiah”.
“Oh, ga apa-apa pak mungkin rezeki yang bisa saya dapat hanya
itu. Saya masih bersyukur karena dengan uang itu ayah dan kedua adik saya bisa
makan malam ini”.
“Ini nak uangnya, bapak kasih lebih untukmu”.
“Terima kasih banyak pak, bapak sungguh baik. Tapi kenapa
bapak memberikan uang lebih kepada saya?”.
“Karena kamu anak yang baik nak, kamu sangat berbakti kepada
orang tuamu. Kamu rela bekerja menjadi pemulung barang-barang bekas untuk
mendapatkan uang”.
“Jika saya tidak bekerja, ayah dan kedua adik saya mungkin
akan kelaparan, saya tidak tega melihat mereka tidak makan hari ini”.
“Sungguh mulia pengorbananmu nak, semoga kelak kamu menjadi
anak yang bisa membahagiakan kedua orang tuamu. Kamu rela mengorbankan
masa-masa kecilmu dengan bekerja, tidak seperti anak-anak lain yang masih ingin
bermain dan masih menjadi tanggungan orang tuanya. Kamu justru menjadi tulang
punggung untuk keluargamu.”
“Terima kasih banyak pak, semoga kebaikan bapak dibalas oleh
Tuhan, dan usaha bapak menjadi tambah besar”.
“Sama-sama nak, andaikan bapak mempunyai anak sepertimu bapak
akan menjadi seorang ayah yang paling bahagia di dunia. Karena kamu itu sungguh
anak yang mulia.”.
“Saya tidak tega melihat ayah dan kedua adik saya menderita,
oleh karena itu, dengan terpaksa saya harus rela bekerja apa saja untuk
mendapatkan sedikit uang”.
“Lantas kenapa kamu bekerja menjadi seorang pemulung, tidak
adakah pekerjaan lain yang bisa kamu kerjakan?”.
“Menjadi seorang pemulung bukanlah suatu hal yang saya
harapkan. Saya terpaksa bekerja seperti ini, karena inilah yang bisa saya
lakukan.Tapi kelak saya ingin menjadi seorang yang sukses yang bisa
membahagiakan kedua orang tua”.
“Bapak berdoa, semoga apa yang kamu cita-citakan bisa
tercapai”.
“Amin, terima kasih pak. Ya sudah pak saya pulang dulu, karena hari sudah semakin gelap. Mungkin ayah
dan kedua adik saya sudah menunggu dirumah. Saya harus bergegas membeli makanan
untuk ayah dan kedua adik saya”.
“Ya sudah nak hati-hati dijalan?”.
“Terima kasih pak”.
Menjadi seorang anak yang bekerja sebagai pemulung bukanlah suatu
hal yang aku inginkan. Setiap kali aku mengais barang bekas di jalanan dan di
tong sampah, aku bisa langsung mengerti bagaimana sesungguhnya banyak dari
orang-orang yang tidak terlalu bisa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan
Tuhan. Banyak kesia-sian yang terbuang di setiap tong sampah yang aku temui,
hanya karena merasa mampu untuk memiliki atau membelinya lagi. Aku senang dan
bersyukur atas apa yang aku dapati saat ini. Hanya bertanya pada diri sendiri,
mengapa harus berlebihan mereka lakukan jika mereka bisa cukup dengan yang
sederhana, mereka membuang tanpa berpikir apakah itu masih berguna atau tidak.
Jika aku melakukan hal yang mereka kerjakan setiap waktu, sudah pasti aku tidak
akan mendapatkan apa yang aku cari di tong sampah. Ya, aku senang dengan semua
yang aku dapati, seperti yang aku bilang tadi. Tapi, jika mereka ingin menderma
atau bersedekah, apakah harus mereka melemparnya ke tong sampah? Mengapa tidak
membungkusnya dan memberikan kepadaku dengan cara yang lebih baik? Aku hanya
mengerti, bahwa jarak tetap harus dibuat bersama batas-batas yang tidak boleh
dilanggar, antara si miskin dan si kaya.
Sore hari, ketika karung yang aku bawa sudah kosong dan
mendapatkan hasil menjual barang-barang bekas yang aku dapatkan hari ini, aku bergegas
pulang sebelum waktu magrib datang. Hasil yang aku dapatkan hari ini,
cukuplah untuk makan ayah dan kedua adikku. Dari setiap jerih payah yang
kudapat itu, aku pakai untuk memenuhi kehidupanku sehari-hari. Sedikit aku sisihkan
untuk biaya sekolahku dan adik-adikku kelak. Aku ingin, kelak masa depan
adik-adikku tak seburam seperti yang aku lakukan saat ini. Uang yang aku sisihkan memang tidak banyak.
Tapi rutin aku sisihkan setiap hari. Jadi, tidak ada yang istimewa dari
kehidupanku. Tapi aku percaya Tuhan pasti mengabulkan semua doa dan cita-cita
yang aku harapkan dimasa depan nanti.
Cuaca sudah semakin gelap, Rima kemudian
bergegas pulang dan membeli beberapa makanan untuk ayah dan kedua adiknya.
Dengan langkah kaki yang pendek dan badan yang sudah letih, keringat dingin
terus membasahi seluruh tubuhnya. Ia terus berjalan mencari warung nasi dan
berharap masih ada yang buka. Gelap malam tak menghalanginya untuk tetap
berjalan. Semilir angin malam seakan menusuk rongga-rongga disetiap tubuhnya,
tapi itu tak menjadi halangan untuk ia terus berjalan.
Ditengah malam
yang dingin, Rima berjalan menelusuri lampu-lampu kota yang indah. Serta riuh
suara mesin yang seakan-akan meneriakan sebuah penderitaan yang tersembunyi. Akhirnya
ia menemukan warung nasi yang masih buka, dan bergegas ia menuju kesana untuk
membeli beberapa bungkus nasi untuk ayah dan kedua adiknya.
“Bu, nasi+telor dadar 3 bungkus ya?”.
Sahut Rima.
“Iya nak, tunggu sebentar”. Jawab
pedagang warung itu.
“Semuanya jadi berapa bu?”.
“8rb nak”.
“Ini bu uangnya, ya sudah terima kasih
bu”.
Setelah membeli 3 bungkus nasi ia
bergegas pulang, karena ia tau ayah dan kedua adiknya sudah menunggu dirumah.
“Mudah-mudahan ayah dan kedua adikku belum merasa lapar.
Lumayan masih tersisa sedikit uang, uang ini akan aku tabung untuk masa depan
kedua adikku”. Pikir Rima dalam hati. Malam semakin larut, ia pun bergegas
untuk segera pulang.
Sesampainya dirumah, ia melihat ayah dan kedua adiknya sedang
berbaring dalam sebuah tikar di dalam sebuah ruangan yang agak sempit.
Dilihatnya mereka sedang tertidur pulas, ia agak agak ragu untuk membangunkan
mereka. Tapi mereka harus segera makan, karena ia tau mereka pasti sudah sangat
lapar. Dengan langkah kaki yang pelan, dan sedikit ragu ia menghampiri ayahnya.
“Pak bangun, Rima sudah pulang. Ini rima bawakan nasi untuk
Bapak dan adik-adik”.
“Kamu darimana saja nak, ko tumben pulang selarut ini?”.
“Tadi Rima mencari barang-barang bekas cukup jauh pak,
makanya pulang agak larut malam. Ya sudah sekarang bapak dan adik-adik makan
dulu, karena Rima tau bapak pasti sudah sangat lapar”.
“Terus kenapa kamu ga makan nak?”.
“Saya tidak lapar pak, lagipula saya juga sudah makan tadi
dijalan”.
“Oh ya sudah nak, bapak makan dulu”.
“Rima juga mau mandi dulu pak”.
Setelah selesai mandi, aku segera merapikan buku dan semua
keperluan untuk sekolahku besok. Meskipun aku anak miskin, tapi semangat
belajarku sangat tinggi. Aku tidak mau terus hidup seperti ini, dan menggapai
semua cita-citaku menjadi seorang guru. Malam sudah semakin larut, suara-suara
jangkrik menandakan waktu sudah semakin malam. Aku bergegas tidur, dan berharap
besok tidak bangun kesiangan.
Kumandang
adzan mengema, lantunan-lantunan suara mengagungkan nama sang kuasa, sang pemberi
hembusan nafas tiap-tiap insan yang masih terlelap dalam mimpi, berebah,
terbaring di sebuah rumah yang berada di sudut kota. Kota yang ternama, namun
banyak orang yang dapat merasakan kebahagiaan disini. Tapi tidak denganku,
kesusahan yang selalu aku sering rasakan. Suara adzan mengema seantero kota,
bersautan dari ujung-ujung setiap sudut rumah-rumah Tuhan. Pagi yang masih
begitu gelap dan terasa sangat dingin, sang surya masih enggan menampakan
sinarnya yang menyejukan kalbu. Suara burung berirama
membangunkanku dari tidur yang panjang. Semilir angin menghentakkan tubuhku
yang kaku. Aku terbangun dari mimpi yang indah, mimpi dimana aku bukanlah
seorang gadis yang miskin.
“Akh itu hanya sebuah
mimpi, andaikan itu menjadi suatu kenyataan pasti aku menjadi seorang anak yang
paling bahagia. Bagaimana tidak, dalam mimpiku, hidupku berkecukupan dengan
rumah yang mewah, harta yang banyak dan makanan yang enak-enak. Tapi sayang itu
hanyalah sebuah mimpi, ya sudahlah aku tidak boleh terus meratapi nasibku yang
malang. Mungkin inilah jalan hidupku, hidup sebagai anak yang tak punya. Tapi
aku bersyukur mempunyai keluarga yang amat sayang kepadaku”.
Waktu sudah menunjukan jam 04.30 pagi, “sial aku kesiangan
lagi, ini karena tadi aku terlalu banyak berkhayal yang tidak-tidak”. Aku harus
segera membangunkan ayah dan kedua adikku untuk segera melaksanakan sholat
shubuh berjamaah.
“Pak bangun, ayo kita shalat shubuh berjamaah?”.
“Memangnya sekarang sudah jam berapa nak?”.
“Sudah jam 04.30 pagi pak”.
“Ya sudah, bapak mau ambil air wudlu dulu. Kamu bangunkan
dulu adik-adikmu”.
“Baik pak”.
Setelah itu kami melaksanakan shalat subuh bersama-sama.
Rasanya aku sangat bahagia dengan keadaanku yang sekarang. Meskipun aku hidup
miskin, tapi kebesamaan keluarga adalah sesuatu yang sangat berharga dibandingkan
harta. Setelah selesai, aku bergegas merapikan semua keperluan sekolahku, dan
bergegas berangkat agar tidak kesiangan.
*****
Rutinitasku sebagai seorang gadis kecil yang kesehariannya
bekerja sebagai pemulung, kulanjutkan
hari ini. Sehabis sepulang sekolah, aku bergegas mempersiapakn segala
keperluan yang aku butuhkan. Sebuah karung besar, dan pengait besi selalu
menemaniku dalam bekerja. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju tempat dimana
aku bisa mengais rezeki. Hari ini, aku coba pergi ketempat dimana terdapat
tumpukan-tumpukan sampah yang berserakan, yang disebut tempat pembuangan akhir
atau TPA Tempat dimana lalat-lalat beterbangan kesana kemari, dan tempat yang sangat jauh dari keadaan
bersih. Bau yang sangat menyengat tak menjadi penghalang bagiku. Orang-orang yang berprofesi sama
sepertiku, seakan berlari mengejar waktu. Mereka mencari sobekan kardus bekas,
botol-botol plastik, dan barang-barang lainnya, yang mereka bisa jual. Begitu
juga yang kulakukan, tak jauh berbeda seperti mereka.
Aku mulai mengorek-ngorek setiap tumpukan sampah yang aku
temui, berharap kudapatkan apa yang aku cari. Satu persatu barang bekas aku
temukan, kumasukan dalam sebuah karung yang aku pikul dalam pundakku. Rasa
lelah mulai terasa merasuki seluruh tubuhku. Tapi, tak pernah aku rasakan. Karena bagiku, kerja keras harus
aku lakukan untuk sesuap nasi yang bisa aku beli dari hasil mengumpulkan
barang-barang bekas.
Waktu sudah semakin siang, hawa
panas semakin aku rasakan. Keringat terus mengucur dari setiap lekukan tubuhku,
hingga membasahi sebagian bajuku. Aku sempatkan diri untuk beristirahat sejenak
dibawah pohon yang terdapat di sudut pembuangan sampah itu. Kadang juga
disela-sela istirahku, aku sering
berpikir...
“mengapa sungguh kejam hidup ini. Untuk membeli sebungkus nasi
saja aku harus berusaha sendiri, aku terlebih dahulu harus memungut secuil
barang yang orang sering buang, yang mereka anggap tidak berharga, tapi bagiku
itu sangat berharga, yang aku bisa tukarkan untuk mendapatkan sedikit uang.
Ironis memang, di keramaian kota yang penuh dengan segudang aktivas dan
kemewahan yang mereka rasakan, tapi menapa aku tidak pernah merasakan apa yang
mereka rasakan. Jika saja dulu aku dilahirkan dari rahim seorang pengusaha kaya,
mungkin nasibku tidak akan seburuk ini. Pasti aku akan hidup senang dengan segala
kemewahan yang bisa aku dapatkan. Tapi sayang, itu hanya mimpi belaka. Karena
aku sudah ditakdirkan lahir dari keluaraga yang miskin. Mungkin aku tidak akan
merasakan seperti mereka, yang semuanya sudah disediakan oleh orang tuanya yang
selalu mencintai dan menyayanginya.. Hidup serba kecukupan, mau makan apa aja
tinggal minta, mau hiburan apa aja sudah tersedia. ohh, sepertinya ingin hidup
yang berkecukupan selalu menjauh dariku. Tapi, aku tidak akan pernah putus asa.
Mungkin dimasa depan, aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Ya,,,,,
dengan kerja keras tentunya”.
Setelah cukup lama beristirahat, kuputuskan untuk kembali mencari
barang-barang bekas. Karena barang yang aku kumpulkan masih sedikit, belum
cukup untuk aku jual. Tak berselang beberapa lama, aku melihat sebuah tas yang
berwarna hitam dengan ikat selendang yang sudah rusak tersembunyi dibalik
tumpukan-tumpukan sampah. Kuputuskan untuk mengambil tas itu. Kudekati, dan
kusimpan dalam kantong yang aku bawa. Terasa berat memang. Aku mulai curiga
apa. Sebenarnya yang terdapat dalam tas
itu.
“Akh, mungkin hanya kertas-kertas
bekas” Pikirku.
Aku mulai penasaran dan kuputuskan untuk segera membuknya. Ku
pegang resletingnya dan kubuka sedikit demi sedikit. Entah kenapa perasaanku
tidak enak, sesungguhnya apa yang terdapat dalam tas ini. Aku sungguh terkejut
dengan yang aku lihat. Tanganku bergetar hebat, detak jantungku berdetak
kencang, melihat gepokan-gepokan uang berwarna merah, dengan pecahan 100rb yang
terdapat dalam tas itu. Kalo dihitung, jumlahnya berkisar milyaran rupiah.
“Ya Tuhan, apakah ini hanya sebuah mimpi?”
Aku cubit kedua pipiku, untuk meyakinkan apakah ini hanya
sebuah mimpi semata.
“Aw.. sakit”
“Ini memang bukan sebuah mimpi, tapi kenyataan. Tapi, apa
yang harus aku lakukan dengan uang ini?”
“Apakah aku harus membawa pulang uang ini, ataukah menyerahkannya
kepada pihak yang berwajib untuk mencari siapa pemilik dari uang tersebut?”
Terkadang hati kecilku berkata, “sudahlah bawa pulang saja
uang itu. Dengan uang itu kamu bisa hidup berkecukupan tanpa bekerja seperti
ini?” Tapi, aku sadar. Ini bukanlah hak untukku, mungkin diluar sana ada orang
lain yang sedang kebingungan mencari uang ini. Meskipun aku hidup susah, aku ga
mau mengambil yang bukan menjadi hakku. Setelah beberapa lama berpikir,
kuputuskan untuk membawa pulang uang itu dan memberitahukannya kepada ayahku.
Aku mulai bergegas pulang. Dengan perasaan yang tidak karuan, kulangkahkan
kakiku meskipun sedikit gemeteran. Keringat dingin terus mengucur dari sekujur
tubuhku. Aku takut, dijalan ada seseorang yang menghadangku. Kupercepat langkah
kakiku, tanpa memberikan perasaan curiga kepada setiap orang yang melihatku.
Setelah sampai dirumah, langsung kuhampiri ayahku.
“Nak kamu kenapa?”
“Tidak apa-apa pak, tapi.....”
“Tapi apa nak, coba ceritakan apa yang terjadi denganmu?”
“Aku menemukan tas ini pak”
“Lantas, apa yang terdapat dalam tas itu?” Bapaknya mulai
penasaran, sebenarnya apa yang terdapat dalam tas tersebut.
“Isinya ratusan uang pak”
“Apa... Jangan bercanda kamu nak”
“Beneran pak, kalo ga percaya bapak lihat saja sendiri”
Dengan raut wajah yang pucat, Rima memberikan tas itu kepada
bapaknya.
“Astagfirulloh... Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak ini
nak, kamu tidak mencuri kan?”
“Tidak pak. Aku temukan dalam tumpukan-tumpukan sampah”
“Yang benar nak?”
“Iya pak”
Mereka mulai berunding tentang uang itu. Setelah cukup lama
berdiskusi, mereka putuskan untuk membawa uang itu kepada pihak yang berwajib.
Disana mereka memberikan uang itu, meskipun dengan hati yang berat. Tapi ia
berfikir, ini bukan rezeki untuknya. Tak berselang beberapa lama, datanglah
seorang pria paruh baya turun dari mobil honda jazz berwarna putih yang
terbilang sangat mewah. Dan ternyata, dia adalah pemilik dari uang itu, yang
hilang dirampok oleh sekelompok penjahat. Orang itu kemudian berterima kasih
kepada Rima. Akhirnya, sebagian uang itu diberikan kepada Rima. Rima merasa
sangat terkejut dengan apa yang didapatkannya. Ia seolah tak percaya, bisa
memegang uang sebanyak itu. Kini, kehidupan rima tak seperti dulu lagi.
Sekarang, ia menjadi bos pengepul barang-barang bekas dan hidupnya serba
kecukupan.
“Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan semua doa-doaku”.
THE
END