UNTUK IBU
Ana
adalah seorang gadis remaja yang saat ini masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah
Menengah Atas Negeri di kotanya. Kata orang Ana mempunyai wajah yang cantik dan
manis, tubuhnya yang montok dan seksi membuat lelaki yang melihatnya selalu melirik
dengan mata yang penuh birahi. Ia tinggal bersama ibunya yang hanya seorang
pedagang sayur keliling, dan ayahnya sudah lama meninggal sejak Ana masih
berumur 2 tahun. Kehidupannya yang serba sederhana membuat Ana menjadi gadis
yang begitu mandiri dan begitu berbakti kepada Ibunya. Ia rela berbuat apa saja
asalkan bisa membuat Ibunya bahagia.
Pagi
itu waktu sudah menunjukan jam 6 pagi, “sial, aku bangun kesiangan lagi, celaka
bisa-bisa aku kena hukuman dari Guruku”, Pikir Ana dalam hati. Ana bergegas
menuju kamar mandi, dan setelah itu memakai pakaian seragam sekolahnya. Dimeja
makan sudah tersedia sarapan pagi untuknya, tapi berhubung ia sudah terlambat,
ia menghiraukan sarapan pagi untuknya.
“Ana,
sarapan pagi dulu nak, Sahut Ibunya”.
“Entar
aja Bu di sekolah, Ana udah terlambat nih, Ana berangkat dulu ya Bu, jawabnya”.
Berhubung
Ana tidak mempunyai kendaraan pribadi, setiap hari Ana naik kendaraan umum, ke
sekolahnya. Setelah sampai, ternyata gerbang sekolah belum tertutup, “untunglah
aku belum terlambat, pikir Ana dalam hati”.
Keringat
dingin terus memasahi bajuku, berharap belum ada guru yang masuk kedalam
kelasku. Setelah sampai di depan kelas,
ternyata belum ada guru yang masuk. “Untunglah aku belum terlambat, gurau Ana
dalam hati”.
“Ana
kamu terlambat lagi ya?” tanya temanku Rani.
“Iya
nih Ran, aku kesiangan lagi, semalam aku begadang dan tidur larut malam, jawab
Ana”.
Rani adalah sahabat baikku. Rani termasuk anak
yang cerdas diantara teman-temanku yang lain. Dia merupakan juara Nasional Olimpiade
Matematika di sekolahku, dan dia adalah teman sebangkuku di kelas. Dia juga
teman yang selalu membantu jika aku merasa kesulitan dalam mengerjakan
tugas-tugas sekolah, karena aku akui, aku tidak sepintar darinya. Di sekolah
aku menjadi rebutan teman-teman lelakiku, karena mereka tertarik dengan
kecantikanku. Hampir semua siswa di sekolahku berkeinginan menadapatkan cinta
dariku.
Bel berbunyi, waktu menunjukan jam 7 pagi, itu
tandanya jam pertama pelajaran akan segera dimulai. Ana bergegas membuka tas
dan mengeluarkan buku pelajaran Bahasa Indonesia, karena jam pertama adalah
pelajaran Bahasa Indonesia. Tak lama kemudian Ibu guru datang dan memberikan
materi pembelajaran tentang mengarang. Ana dan Rani pun mendengarkan materi
yang disampaikan oleh gurunya, karena
Ujian Akhir Sekolah semakin dekat Ana mulai rajin belajar. Ana ingin
lulus dengan nilai yang memuaskan dan mebuat bangga Ibunya. Ana juga nantinya
ingin melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi Negeri yang ia cita-citakan.
Setiap
sepulang dari sekolah Ana selalu meluangkan waktu untuk belajar, karena ia tak
mau mendapatkan hasil yang mengecewakan dalam UAS nanti. Ia juga tak mau
membuat Ibunya kecewa, karena Ibunya rela bekerja keras untuk membiayai
sekolahnya. Ana juga rela bekerja sampingan sebagai penjual gorengan untuk
mendapatkan uang tambahan dan uang jajan, ia tidak mau terus bergantung kepada
Ibunya. Tak ada rasa malu dalam hati Ana, meskipun hanya seorang penjual
gorengan keliling.
Pada
suatu waktu ibunya jatuh sakit keras, dan memaksanya untuk dibawa ke rumah
sakit. Ibunya telah lama mengidap sakit asma yang kronis, dan harus segera di
operasi. Ana kebingungan entah apa yang mesti ia lakukan agar Ibunya bisa
segera di operasi, dan biaya operasi itu sekitar 30 juta. Ia bingung, darimana
ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan ia hanya orang miskin yang tak
mampu membayar biaya operasi sebanyak itu. Dia kemudian mencari pinjaman kepada
teman-temannya, tetapi temannya tidak ada yang sanggup untuk memberinya
pinjaman sebanyak itu.
Hingga
suatu ketika temannya yang bernama Rani menyuruh Ana untuk melakukan suatu
pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Rani adalah sahabat Ana sewaktu
kecil. Ana telah bersahabat dengan Rini sejak lama, hubungan mereka sangat
baik, dan Ana telah menganggap Rani sebagai kakaknya sendiri. Rani merupakan
gadis yang masih remaja, dia putus sekolah karena orang tuanya tak mampu
membiayai sekolahnya. Demi menyambung hidupnya, Rani melakukan pekerjaan yang
seharusnya tak pantas dia lakukan. Meskipun dia masih terbilang masih remaja
dia rela menjajakan tubuhnya kepada para lelaki hidung belang, demi sepeser
uang untuk menyambung hidupnya. Ya,,, itulah hidup.
“Ana,
pasti kamu sedang membutuhkan banyak uang untuk operasi Ibumu kan?”, sahut Rani.
“Iya
Ran, aku bingung, apa yang mesti aku lakukan agar bisa mendapatkan uang 30 juta
untuk biaya operasi Ibuku!”
“Apakah
kamu bisa memberikan pinjaman uang kepadaku Ran?” Tanya Ana.
“Maaf
Ana, aku tak punya uang sebanyak itu, tapi apakah kamu mau melakukan suatu pekerjaan
yang bisa mendapatkan banyak uang?”, Tanya Rani.
“Pekerjaan apapun akan aku lakukan Ran, memang
pekerjaan apa yang mesti aku lakukan?”, jawab Ana dengan penuh harapan.
“Kamu
hanya tinggal menjual kehormatanmu kepada para lelaki hidung belang, apakah
kamu sanggup Ana?”. Ana merasa kaget dengan yang dikatan Rani, dia berpikir
sejenak, apakah sanggup ia melakukannya.
“Tuhan,
apakah ini jalan satu-satunya yang harus aku lakukan, demi kesembuhan Ibuku”,
pikir Ana dalam hati.
Ana
berpikir sejenak, merenung dengan raut wajah kebingungan, antara sanggup atau
tidak ia melakukannya.
“Ya,
aku sanggup Ran”, aku akan melakukan apa saja demi kesembuhan Ibuku”, jawab Ana
dengan nada dan raut wajah yang begitu sedih.
“Jika
itu memang jalan satu-satunya, aku rela menjual satu-satunya kehormatanku demi
sepeser uang untuk kesembuhan Ibuku”.
“Jika
kamu mau Ana, nanti aku ajak kamu pergi ke suatu tempat, dan disana kamu pasti
mendapatkan banyak uang. Kamu disana hanya tinggal duduk dan menunggu lelaki
hidung belang yang akan membeli kehormatanmu, setelah itu kamu bisa mendapatkan
semua yang kamu inginkan dari lelaki itu. Sahut Rani”.
Ana
merasa bingung, entah apa yang mesti dilakukannya.
“Apakah
aku harus menjual diriku demi kesembuhan Ibuku?, pikir Ana dalam hati”.
Setelah
lama berpikir, kemudian ia memutuskan untuk berani menjual satu-satunya
kehormatan yang ia miliki. Akhirnya Ana pergi ke suatu tempat bersama Rani, ia
berharap bisa mendapatkan banyak uang disana. Ana berjalan agak ragu memasuki
tempat tersebut, setelah masuk ia melihat orang-orang yang sedang asik berjoged
sambil memmegang sebotol minuman ditangannya.
“Sebenarnya
tempat apakah ini, kenapa orang-orang disini begitu asik dan seakan-akan tak
ada beban dalam hidupnya”, Pikir Ana dalam hati.
“Ran,
tempat apakah ini?”, Tanya Ana.
“Ini
adalah sebuah cafe atau bar, tempat dimana orang bisa mendapatkan kesenangan
dunia, dan disini kita bisa mendapatkan banyak uang”, Sahut Rani.
“Ana
bingung, karena seumur hidup ia tak pernah masuk ke tempat ini, tanda tanya besar
menggerutu dalam hatinya”.
Kemudian
mereka berdua duduk di pojok sebuah ruangan dan berharap ada mangsa yang
menghampiri mereka. Tak lama kemudian ada seorang pria menghampiri mereka. Pria
itu tak lain adalah pelanggan tetap Rani.
“Ana,
kau tunggu saja disini”, sahut Rani.
“Lantas
kamu mau kemana Ran?”, tanya Ana.
“Aku
mau pergi dulu sebentar An, memuaskan pelangganku. Kamu tinggal duduk, nanti pasti ada seseorang yang akan
menghampirimu.”, jawab Rani.
Tak
berapa lama, Rani pergi bersama pria itu menuju suatu ruangan. Ditinggalkannya
Ana seorang diri dalam cafe itu.
“Apakah
itu pekerjaan yang selalu dikerjakan oleh Rani?”, pikir Ana dalam hati.
Disudut
sebuah meja bar, seorang pelayan cafe memperhatikan gerak gerik Ana, ia merasa
curiga kepada gadis remaja itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas
kearah gadis remaja itu yang duduk di sebuah meja yang agak di pojok.
Pelayan
cafe itu memperhatikan sekian lama, dan berfikir ada sesuatu yang harus
dicurigainya terhadap gadis remaja itu. Karena sudah dua kali waiter
mendatanginya, tapi gadis remaja itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih
kosong. Tak ada yang makanan dan minuman yang dipesan olehnya.
“Lantas
untuk apa gadis remaja itu duduk seorang diri , adakah seseorang yang yang
sedang ditunggunya”, pikirnya dalam hati.
Pelayan
cafe itu mulai berpikir bahwa gadis remaja itu bukanlah tipe gadis nakal yang
biasa mencari mangsa di cafe ini. Usianya belum nampak terlalu dewasa. Tapi tak
bisa dibilang masih anak-anak, karena usianya yang tengah menginjak remaja.
Setelah
sekian lama memperhatikan gadis remaja itu, akhirnya memaksa pelayan cafe itu
untuk mendekati tempat meja gadis remaja itu dan bertanya :
“Maaf
nak,, apakah anda sedang menunggu
seseorang disini?”
“Tidak!,
jawab Ana sambil mengalihkan wajah ke tempat lain.
“Lantas
untuk apa anda duduk di sini seorang diri?“, Tanya pelayan cafe itu dengan raut
wajah yang mengkerut seakan kebingungan.
“Apakah
tidak boleh, aku duduk disini?”, Ana mulai memandang ke arah pelayan cafe itu.
“Maaf
nak, ini tempat untuk bersenang-senang”.
“Maksud,
bapak apa?”
“Anda
harus memesan sesuatu agar bisa duduk disini”
“Nanti
saya akan memesan setelah saya dapat uang. Tapi sekarang izinkanlah saya untuk
duduk disini untuk sesuatu yang akan saya jual”, jawab Ana dengan suara yang
lambat.
“Jual?”,
lantas apakah yang akan anda jual disini nak?”. Pelayan cafe itu merasa heran,
karena tak nampak ada barang yang akan dijual.
“Ok,
lah. Apapun yang akan anda jual, tapi ini bukanlah tempat untuk berjualan.
Mohon mengerti nak.”
“Saya
hanya ingin menjual diri saya pak,” kata Ana dengan tegas sambil menatap
dalam-dalam kearah pealayan cafe itu. Pelayan cafe itu terkesima dan merasa
sangat kaget dengan yang dikatakan Ana.
“Apakah
anda yakin nak?”
“Saya
begitu yakin pak, dengan yang saya akan jual”
“Kalau
begitu mari ikut dengan saya,” kata pelayan cafe itu memberikan isyarat dengan
tangannya.
Ana
merasa ada sesuatu tindakan mencurigakan, karena ada secuil senyuman di wajah
pelayan cafe itu. Tanpa ragu Ana melangkah mengikuti pelayan cafe itu. Di koridor
cafe terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon
antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi
penghuni kamar cafe ini. Di tempat inilah transaksi berlangsung.
“Apakah
anda serius nak?” Tanya pelayan cafe itu.
“Saya
serius pak,” jawab Ana dengan tegas dan nada yang keras.
“Berapakah
tarif yang anda minta nak?”
“Setinggi-tingginya
pak.”
“Mengapa
kamu mematok tarif yang begitu tinggi nak?” Tanya satpam itu dengan wajah yang
kaget.
“Saya
masih perawan pak”
“Apa,
perawan?” pelayan cafe itu begitu terkejut dengan wajah yang berseri-seri.
“Wah, peluang emas untuk mendapatkan rezeki lebih hari ini”, pikirnya itu dalam
hati”.
“Bagaimana
saya tahu anda masih perawan nak?”
“Gampang
sekali. Semua pria dewasa pasti tahu, membedakan mana yang masih perawan dan
mana yang bukan”.
“Kalau
tidak terbukti?”
“Tidak
usah bayar pak”
“Baiklah…”
pelayan cafe itu menghela nafas, kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.
“Saya
akan membantu mendapatkan lelaki kaya yang ingin membeli keperawanan anda.”
“Cobalah,
saya ingin tahu berapa tarif yang kamu minta nak?”
“Setinggi-tingginya
pak”
“Berapa”
“Saya
tidak tahu berapa pak, yang pasti tarif paling tinggi, itu yang saya mau”
“Baiklah
saya akan tawarkan kepada tamu cafe ini. Tunggu sebentar ya”. Pelayan cafe itu
kemudian pergi dan mencari tamu yang berniat membeli keperawanan Ana.
Tak
beberapa lama kemudian, pelayan cafe itu datang lagi dengan wajah yang cerah.
“Saya
sudah dapatkan seorang penawar nak. Dia minta Rp 3 juta. Bagaimana nak?”
“Tidak
adakah yang lebih tinggi?”
“Ini
harga yang cukup tinggi nak,” pelayan cafe itu mencoba meyakinkan.
“Maaf
pak, saya ingin harga yang lebih tinggi. Itu belum cukup bagiku”. Sahut Ana.
“Baiklah,
saya akan carikan yang lebih tinggi. Tunggu disini”. Kemudian pelayan cafe itu
pun pergi. Tak beberapa lama kemudian pelayan cafe itu pun kembali.
“Saya
sudah dapatkan harga yang lebih tinggi nak, Rp 4 juta rupiah. Bagaimana?”
“Maaf
pak, tidak adakah harga yang lebih tinggi?“
“Nak,
ini sudah harga yang paling tinggi dan sangat pantas untuk anda. Cobalah
bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa-apa.
Atau keperawanan anda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan
apa-apa, kecuali janji manis dari pacar anda. Dengan uang 4 juta anda bisa
membeli apa saja nak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik kepada saya,
karena saya akan mendapatkan komisi dari tamu cafe itu, adilkan. Kita ini
sama-sama butuh nak.”
“Tapi
saya masih ingin tarif yang lebih dari itu pak”, jawab Ana tanpa memperdulikan
ocehan dari pelayan cafe itu. Pelayan cafe itu kemudian terdiam, namun ia tidak
kehilangan semangat untuk terus membujuk Ana.
“Baiklah,
saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya, dan tolong bukakan
sedikit baju anda nak. Agar ada sesuatu yang dapat memancing mata orang untuk
membeli anda”. Kata pelayan cafe itu dengan nada yang begitu kesal. Ana tak
peduli dengan saran pelayan cafe itu tapi tetap mengikuti langkah pelayan cafe
itu memasuki lift.
Tak
berselang beberapa lama, terlihat seorang pria sedang duduk seorang diri dalam
sebuah kamar. Kemudian pelayan cafe itu, menghampiri pria tersebut dan
mengajaknya mengobrol.
“Maaf
tuan, apakah anda membutuhkan seseorang untuk menemani anda malam ini?”, sahut
pelayan cafe itu.
“Ya,
boleh saja, tapi apakah dia gadis yang selalu mangkal di tempat ini?, tanya
pria itu.
“Bukan
tuan, dia orang baru, dan dia juga masih perawan pak”, jawab pelayan cafe itu.
“Akh
yang benar kau, jangan-jangan kau hanya berbohong”
“Benar
tuan, jika saya berbohong anda tidak usah bayar”, jawab pelayan cafe itu.
“Berapakah
tarif yang dia minta?”
“Katanya
sih setinggi-tingginya tuan, anda bisa tanyakan langsung kepada dia”, sahut
pelayan cafe itu dengan nada yang lantang.
“Berapa
harga tertinggi yang sudah ditawar orang?“ kata pria itu kepada pelayan cafe
itu.
“Rp.
4 juta tuan”
“Kalau
begitu saya berani dengan harga Rp. 6 juta untuk semalam.”
Ana
pun terdiam.
Pelayan
cafe itu memandang ke arah Ana dan berharap ada jawaban bagus darinya.
“Bagaimana?”
Tanya pria itu.
“Saya
ingin yang lebih tinggi lagi pak” kata Ana.
Petugas
satpam itu tersenyum kecut.
“Yang
benar saja kau nak, itu harga yang pantas untukmu”, sahut pria itu.
“Tapi
itu belum cukup untukku pak”, jawab Ana.
“Kalau
begitu, bawa wanita itu pergi” kata pria itu kepada pelayan cafe sambil menutup
pintu dengan keras.
“Nak,
anda benar-benar telah membuat saya kesal. Apakah anda benar-benar ingin
menjual atau tidak?”
“Tentu!”
“Kalau
begitu mengapa anda menolak harga tertinggi
itu …”
“Saya
minta harga yang lebih tinggi lagi, itu belum cukup buatku”, jawab Ana.
Kalau begitu kamu tunggu sebentar disini, saya akan
mencarikan orang yang mau membayar kamu dengan
harga yang tinggi. Kemudian pelayan cafe itu pergi dan berharap menemukan
orang yang mau membayar dengan harga yang tinggi. Dia menelusuri setiap kamar
yang ada di dalam hotel. Tak berselang beberapa lama, ia melihat ada seorang
pria yang sedang duduk di depan sebuah kamar. Ia pun menghampiri, dan kemudian
bertanya:
Maaf pak, apa yang sedang anda tunggu, apakah anda
membutuhkan seseorang untuk menemani anda malam ini?”
“Maksud anda apa?” Jawab pria itu.
“Ya, barangkali saja anda membutuhkan seorang gadis untuk
menemani kesepian anda”.
Pria
itu menatap sekilas kearah pelayan
cafe itu
dan kemudian memalingkan wajahnya.
“Ada
seorang gadis remaja yang duduk disana,” Pelayan cafe itu menunjuk kearah Ana.
Pelayan cafe itu tak kehilangan akal
untuk memanfaatkan peluang ini.
“Dia
masih perawan ...”
Pria
itu mendekati pelayan cafe
itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.
“Benarkah
itu?”
“Benar,
pak”
“Kalau
begitu kenalkan saya dengan gadis remaja itu …”
“Dengan
senang hati pak. Tapi gadis remaja itu minta harga setinggi-tingginya.”
“Saya
tak peduli …” Pria itu menjawab dengan tegas.
“Bapak
ini siap membayar berapapun yang kamu minta nak, nah sekarang seriuslah …” Kata
pelayan cafe
itu dengan wajah yang begitu senang.
“Kalau
begitu, mari kita bicara dikamar saja”. Kata pria itu sambil menyisipkan uang
kepada pelayan cafe itu.
Akhirnya Ana mengikuti pria itu masuk menuju kamarnya.
Didalam
kamar…
“Beritahu,
berapa harga yang kamu minta nak?”
“Setinggi-tingginya
pak, seharga kesembuhan untuk ibu saya dari penyakit.
“Maksud
kamu?”
“Saya
ingin menjual satu-satunya harta dan kehormatan saya demi kesembuhan ibu saya.
Itulah bagaimana cara saya berterima kasih…”
“Hanya
itu …”
“Ya
…!”
Pria
itu memperhatikan wajah gadis remaja itu. Nampak terlalu muda untuk menjual
kehormatannya. Gadis remaja itu tidak menjual cintanya, tidak pula menjual
penderitaanya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung yang gagah berani
ditengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa
dihadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi kehormatan
sebuah keperawanan bagi gadis remaja itu. Yaitu pengorbanan dan pengabdian
untuk seoarang ibu yang menurutnya begitu berharga, yang lebih berharga
darinya. Gadis remaja itu tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana
gelombang membawa ia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi.
“Kalau
boleh tahu, siapa nama kamu nak?”
“Ana”
jawab gadis remaja itu. “Sebutkanlah, berapa harga yang bisa bapak bayar untuk
kehormatan saya?” Tanya Ana.
“Saya
tak bisa menyebutkan harganya. Karena karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas
ditawar.”
“Kalau
begitu, tidak ada kesepakatan!”
“Ada!”
Kata pria itu seketika.
“Sebutkan!”
“Saya
membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu. Terimalah uang
ini, jumlahnya lebih dari cukup untuk biaya operasi ibu kamu. Dan sekarang pulanglah
...” Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.
“Saya
tak mengerti pak …”
“Selama
ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya. Dia selalu menikmati pemberian
uang dari saya, tapi tidak pernah berterima kasih. Selalu memeras. Sekali saya
memberi, selamanya dia akan terus meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli
rasa terima kasih dari seorang gadis remaja yang gagah berani dan rela
berkorban bagi orang tuanya. Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila
saya bisa membayar …”
“Dan,
apakah bapak ikhlas …?”
“Apakah
uang ini kurang?”
“Lebih
dari cukup, pak …”
“Sebelum
kamu pergi, bolehkah saya bertanya satu hal?”
“Silahkan…”
“Mengapa
kamu begitu beraninya …”
“Siapa
bilang saya berani. Saya takut pak …
Tapi
lebih dari seminggu saya berupaya mencari uang untuk biaya operasi ibu, saya
sudah kesana kemari mencari pinjaman tapi semuanya gagal. Hingga seorang teman
menyarankan saya untuk pergi ke cafe
ini, karena disini bisa mendapatkan jumlah uang yang besar dalam waktu singkat.
Makanya saya memberanikan diri datang ke cafe
ini untuk menjual kehormatan saya. Ketika saya berniat menjual kehormatan saya,
itu bukanlah karena dorongan nafsu. Bukan pula pertimbangan akal saya yang
‘bodoh’ … Saya hanya bersikap dan berbuat untuk suatu keyakinan …”
“Keyakinan
apa?”
“Jika
kita berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhanlah yang akan menjaga
kehormatan kita …” Kemudian Ana melangkah keluar dari kamar itu.
“Lantas
apa yang bapak dapat dari membeli ini?”
“Kesadaran”,
jawab pria itu.
“Saya tak mengira, ternyata anda sebaik itu pak. Terima
kasih atas uang yang bapak berikan kepada saya.”
“Ya sama-sama nak, itu tak seberapa dibandingkan
kesembuhan ibu kamu. Sekarang, segeralah bayarkan uang itu untuk operasi ibu
kamu”.
“Baik pak”.
Setelah
mendapatkan uang, Ana segera pergi menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah
sakit ia segera menemui Dokter dan menyerakhan uang untuk biaya operasi ibunya.
Di sebuah ruangan di dalam rumah sakit, seorang ibu yang sedang berbaring sakit
dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.
“Kamu
sudah pulang, nak?”
“Ya,
bu…”
“Kemana
saja kamu, nak?”
“Menjual
sesuatu, bu …”
“Lantas,
apa yang kamu jual?” Ibu itu menampakan wajah keheranan. Tapi Ana hanya
tersenyum …
“Aku hanya menjual sesuatu yang berharga dalam hidupku
bu”.
“Lantas apa yang kamu jual nak?”.
“Kehormatanku”.
“Kenapa kamu rela menjual satu-satunya kehormatan yang
kamu punya nak?”.
“Tapi ibu tak usah mencemaskanku, karena kehormatan yang
aku punya masih utuh”.
“Maksud kamu apa nak?”.
“Ada seorang pria setengah baya yang baik hati, yang
memberikan uang tanpa kujual kehormatanku. Tapi yang terpenting sekarang ibu
harus segera di operasi.”
“Baiklah nak”.
Hidup
sebagai anak yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah
kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situsi yang tak ada lagi yang
gratis. Semua orang berdagang, membeli dan menjual adalah keseharian yang
tak bisa dielakkan. Pengorbanan untuk
orang tua yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh keyakinan tak akan pernah
sia-sia, karena Tuhan itu Maha adil. Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa
perhitungan.
Di pojok sebuah ruangan ia terus menunggu, dengan wajah
raut wajah yang pucat mencrminkan ia sangat cemas akan keadaan ibunya yang
sedang di operasi. Tak henti-hentinya untaian-untaian doa keluar dari dalam
bibirnya. Ia berharap operasi ibunya bisa berjalan dengan lancar, dan bisa
sembuh seperti biasanya.
“Ya Tuhan, sembuhkanlah ibuku. Aku gak mau kehilangan
dia, karena dia adalah seseorang yang aku punya dalam kehidupanku. Lancarkanlah
operasi ibuku ya Tuhan”. Pikir Ana dalam hati.
Setelah menunggu hampir 2 jam lamanya, akhirnya seorang
dokter keluar dari ruangan operasi. Ana bergegas menhampiri dan bertanya.
“Dokter, bagaimana keadaan ibuku”. Sahut Ana.
“Ibumu baik-baik saja nak, kami berhasil mengoperasi
ibumu. Ibumu sekarang sudah sembuh, dan sekarang kamu bisa menemuinya di
dalam”.
“Terima kasih banyak dok, anda telah menyelamatkan
ibuku”.
“Sama-sama nak, berkat doamu kami bisa menyelamatkan
ibumu”.
Ana bergegas masuk ke dalam. Dilihatnya seorang ibu yang
sedang berbaring dengan selang infus di tangannya. Ia segera menghampiri dan
memeluknya dengan erat.
*****
THE END