Friday, January 6, 2012

Fonologi, Morfologi dan Sintaksis Bahasa Indonesia

A.  FONOLOGI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi – bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian fonologi adalah merupakan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan bahwa fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian, yakni:
1. Fonetik
Fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Macam –macam fonetik :
a. fonetik artikulatoris yang mempelajari posisi dan gerakan bibir, lidah dan organ-organ manusia lainnya yang memproduksi suara atau bunyi bahasa
b. fonetik akustik yang mempelajari gelombang suara dan bagaimana mereka didengarkan oleh telinga manusia
c. fonetik auditori yang mempelajari persepsi bunyi dan terutama bagaimana otak mengolah data yang masuk sebagai suara

2. Fonemik
Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.




B.     FONEM
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem tidak dapat berdiri sendiri karena belum mengandung arti.
Fonemisasi adalah usaha untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut.
Fonem sebuah istilah linguistik dan merupakan satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih bisa menunjukkan perbedaan makna. Fonem berbentuk bunyi.Misalkan dalam bahasa Indonesia bunyi [k] dan [g] merupakan dua fonem yang berbeda, misalkan dalam kata "cagar" dan "cakar". Tetapi dalam bahasa Arab hal ini tidaklah begitu. Dalam bahasa Arab hanya ada fonem /k/.
Sebaliknya dalam bahasa Indonesia bunyi [f], [v] dan [p] pada dasarnya bukanlah tiga fonem yang berbeda. Kata provinsi apabila dilafazkan sebagai [propinsi], [profinsi] atau [provinsi] tetap sama saja.
Fonem tidak memiliki makna, tapi peranannya dalam bahasa sangat penting karena fonem dapat membedakan makna. Misalnya saja fonem [l] dengan [r]. Jika kedua fonem tersebut berdiri sendiri, pastilah kita tidak akan menangkap makna. Akan tetapi lain halnya jika kedua fonem tersebut kita gabungkan dengan fonem lainnya seperti [m], [a], dan [h], maka fonem [l] dan [r] bisa membentuk makna /marah/ dan /malah/. Bagi orang Jepang kata marah dan malah mungkin mereka anggap sama karena dalam bahasa mereka tidak ada fonem [l].
Terjadinya perbedaan makna hanya karena pemakaian fonem /b/ dan /p/ pada kata tersebut. Contoh lain: mari, lari, dari, tari, sari, jika satu unsur diganti dengan unsur lain maka akan membawa akibat yang besar yakni perubahan arti.

MORFOLOGI
Adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal
                        Morfologi mempelajari seluk beluk bentuk serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik
Jenis-jenis Morfem
            Berdasarkan criteria tertentu, kita dapat mengklasifikasikan morfem menjadi berjenis-jenis. Penjenisan ini dapat ditinjau dari dua segi yakni hubungannya dan distribusinya (Samsuri, 1982:186; Prawirasumantri, 1985:139). Agar lebih jelas, berikut ini sariannya.

1)         Ditinjau dari Hubungannya
            Pengklasifikasian morfem dari segi hubungannya, masih dapat kita lihat dari hubungan struktural dan hubungan posisi.

a)         Ditinjau dari Hubungan Struktur
            Menurut hubungan strukturnya, morfem dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu morfem bersifat aditif (tambahan) yang bersifat replasif (penggantian), dan yang bersifat substraktif (pengurangan).
            Morfem yang bersifat aditif yaitu morfem-morfem yang biasa yang pada umumnya terdapat pada semua bahasa, seperti pada urutan putra, tunggal, -nya, sakit. Unsur-unsur morfem tersebut tidak lain penambahan yang satu dengan yang lain.
            Morfem yang bersifat replasif yaitu morfem-morfem berubah bentuk atau berganti bentuk dari morfem asalnya. Perubahan bentuk itu mungkin disebabkan oleh perubahan waktu atau perubahan jumlah. Contoh morfem replasif ini terdapat dalam bahasa Inggris. Untuk menyatakan jamak, biasanya dipergunakan banyak alomorf. Bentuk-bentuk /fiyt/, /mays/, /mεn/ masing-masing merupakan dua morfem /f…t/, /m…s/, /m…n/ dan /iy ← u/, /ay ← aw/, /ε/, /æ/. Bentuk-bentuk yang pertama dapat diartikan masing-masing ‘kaki’, ‘tikus’, dan ‘orang’, sedangkan bentuk-bentuk yang kedua merupakan alomorf-alomorf jamak. Bentuk-bentuk yang kedua inilah yang merupakan morfem-morfem atau lebih tepatnya alomorf-alomorf yang bersifat penggantian itu, karena /u/ diganti oleh /iy/ pada kata foot dan feet, /aw/ diganti oleh /ay/ pada kata mouse dan mice, dan /æ/ diganti oleh / ε/  pada kata man dan men.
            Morfem bersifat substraktif, misalnya terdapat dalam bahasa Perancis. Dalam bahasa ini, terdapat bentuk ajektif yang dikenakan pada bentuk betina dan jantan secara ketatabahasaan. Perhatikanlah bentuk-bentuk berikut !
Betina
/mov εs/
/fos/
/bon/
/sod/
/ptit/
Jantan
/mov ε/
/fo/
/bo/
/so/
/pti/
Arti
buruk
palsu
baik
panas
kecil
Bentuk-bentuk yang ‘bersifat jantan’ adalah ‘bentuk betina’ yang dikurangi konsonan akhir. Jadi dapat dikatakan bahwa pengurangan konsonan akhir itu merupakan morfem jantan.
b)         Ditinjau dari Hubungan Posisi
            Dilihat dari hubungan posisinya, morfem pun dapat dibagi menjadi tiga macam yakni ; morfem yang bersifat urutan, sisipan, dan simultan. Tiga jenis morfem ini akan jelas bila diterangkan dengan memakai morfem-morfem imbuhan dan morfem lainnya.
Contoh morfem yang bersifat urutan terdapat pada kata berpakaian yaitu / ber-/+/-an/. Ketiga morfem itu bersifat berurutan yakni yang satu terdapat sesudah yang lainnya.
Contoh morfem yang bersifat sisipan dapat  dilihat dari kata / telunjuk/. Bentuk tunjuk merupakan bentuk kata bahasa Indonesia di samping telunjuk. Kalau diuraikan maka akan menjadi / t…unjuk/+/-e1-/.
Morfem simultan atau disebut pula morfem tidak langsung terdapat pada kata-kata seperti /khujanan/. /ksiaηgan/ dan sebagainya. Bentuk /khujanan/ terdiri dari /k…an/ dan /hujan/, sedang /kesiangan/ terdiri dari /ke…an/ dan /siaη/. Bentuk /k-an/ dalam bahasa Indonesia merupakan morfem simultan, terbukti karena bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk /khujan/ atau /hujanan/ maupun /ksiaη/ atau /sianaη/. Morfem simultan itu sering disebut morfem kontinu ( discontinous morpheme ).

2)         Ditinjau dari Distribusinya
            Ditinjau dari distribusinya, morem dapat dibagi menjadi dua macam yaitu morfem bebas dan morem ikat. Morfem bebas ialah morfem yang dapat berdiri dalam tuturan biasa , atau morfem yang dapat berfungsi sebagai kata, misalnya : bunga, cinta, sawah, kerbau. Morfem ikat yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, misalnya : di-, ke-, -i, se-, ke-an. Disamping itu ada bentuk lain seperti juang, gurau, yang selalu disertai oleh salah satu imbuhan baru dapat digunakan dalam komunikasi yang wajar. Samsuri ( 1982:188 )menamakan bentuk-bentuk seperti bunga, cinta, sawah, dan kerbau dengan istilah akar; bentuk-bentukseperti di-,ke-, -i, se-, ke-an dengan nama afiks atau imbuhan; dan juang, gurau dengan istilah pokok. Sementara itu Verhaar (1984:53)berturut-turut dengan istilah dasar afiks atau imbuhan dan akar. Selain itu ada satu bentuk lagi seperti belia, renta, siur yang masing-masing hanya mau melekat pada bentuk muda, tua, dan simpang, tidak bisa dilekatkan pada bentuk lain. Bentuk seperti itu dinamakan morfem unik.
           
SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
STRUKTUR SINTAKSIS
Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K) yang berkenaan dengan fungsi sintaksis. Nomina, verba, ajektifa, dan numeralia berkenaan dengan kategori sintaksis. Sedangkan pelaku, penderita, dan penerima berkenaan dengan peran sintaksis.
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi; bisa juga ditambah dengan konektor yang biasanya disebut konjungsi. Peran ketiga alat sintaksis itu tidak sama antara bahasa yang satu dengan yang lain.

KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS
Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya dua macam kata yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal mempunyai makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Yang termasuk kata penuh adalah kata-kata kategori nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan numeralia.
Kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam peraturan dia tidak dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata tugas adalah kata-kata kategori preposisi dan konjungsi



FRASE

            Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau predikat - objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

KLAUSA

            Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan

KALIMAT

            Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat didefinisikan sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap ”. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.

MORFOLOGI

.       Secara umumnya tatabahasa bahasa Melayu mencakupi dua bidang iaitu morfologi dan sintaksis
 
2.       Morfologi ialah bidang yang mengkaji struktur, pembentukan kata dan golongan kata.
 
3.       Dalam morfologi, unit terkecil yang mempunyai makna dan tugas nahu ialah morfem.
 
4.       Para pelajar juga perlu mengetahui maksud istilah morfem dan kata. Ini kerana kedua-dua adalah berbeza dari segi fungsi dan konsep.
 
Morfem
 
1.       Morfem ialah unit terkecil yang menjadi unsur perkaaan.
 
2.       Sekiranya kata tidak boleh dipecahkan kepada unit bermakna atau nahu yang lebih kecil, maka kata-kata ini erdirid aripada satu unit atau satu morfem. Misalnya minum.
 
3.       Minum tidak akan berfungsi dan memberi makna jika dipecahkan kepada mi dan num
 
4.       Sebaliknya, kata diminum boleh dipecahkan kepada dua morfem, iaitu di dan minum.
 
5.       Kesimpulannya, perkataan boleh terdiri daripada beberapa morfem.

Semiotika: Tanda Dan Makna

Semua kenyataan cultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri.
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.

Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.

PEMBELAJARAN MENYIMAK DAN BERBICARA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

  1. BAHAN PEMBELAJARAN MENYIMAK
Pembelajaran menyimak adalah kegiatan membelajarkan siswa agar mempunyai keterampilan menyimak dengan baik melalui latihan-latihan. Dalam melakukan pembelajaran dengan cara latihan tersbut seorang guru tidak cukup hanya berbicara sehingga siswanya menyimak dengan baik. Akan tetapi dikemas menggunakan berbagai bahan pembelajaran yang bersifat interaktif dan menarik perhatian siswa dan yang terpenting adalah menggunakan bahasa yang dimengerti oleh siswa. Apabila terdapat bahasa yang kurang dipahami siswa maka peran guru sebagai fasilitator menjadi sangat penting untuk memberi penjelasan tentang makna arti suatu kode bahasa lisan tertentu tersebut.
Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai media sumber belajar menyimak di antaranya adalah media tulisan yang dibacakan guru atau siswa, rekaman berita radio dan televisi, cerita yang dituturkan atau diperdengarkan kepada siswa dan kegiatan nyata lainnya yang membawa siswa langsung kepada suatu keadaan untuk mereka dapat menyimak.  Kegiatan lain yang ikut mendukung untuk meningkatkan keterampilan menyimak adalah menyimak sambil menulis, membaca, mendengarkan dan membaca. Sebagai penjelasan lebih lanjut akan dibahas pada beberapa contoh metode yang dapat dilaksanakan dalam proses menyimak di bawah ini.


Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembelajaran menyimak maka suasana kelas harus sedapat mungkin memiliki suasana yang mendukung seperti :
1)    Menantang atau merangsang siswa dalam belajar
2)   Mengaktifkan siswa dalam belajar
3)   Mengembangkan kreatifitas siswa, penampilan siswa secara individu atau kelompok
4)   Memudahkan siswa memahami materi pembelajaran
5)   Mengarahkan aktivitas belajar siswa ke arah tujuan
6)   Mudah dipraktekkan, tidak menuntut peralatan yang rumit

Beberapa metode pembelajaran yang disarankan untuk dilaksanakan dalam mendukung proses kegiatan menyimak adalah seperti di uraikan di bawah ini :

a.    Metode Simak Ulang Ucap
Biasanya digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa dan cara pengucapannya. Guru sebagai model pembelajaran membacakan atau memutar rekaman bunyi bahasa tersebut, seperti fonem , kata mutiara, sembopyan, puisi pendek dengan perlahan-lahan serta intonasi yang jelas dan tepat. Siswa meniru ucapan guru. Peniruan ini dapat dilakukan secara individu, kelompok atau klasikal.

b.    Metode Simak Kerjakan
Metode ini dilaksanakan dengan cara guru mengucapkan kalimat perintah, selanjutnya siswa mengerjakan perintah yang diucapkan guru  misalnya :
Guru    : Toni, ambil dan tunjukkan kepada temanmu huruf  “b”
Toni     : (Mengambil dan menunjukkan huruf “b” kepada temannya sesuai dengan    
                perintah guru.

c.    Metode Simak Terka
Guru mempersiapkan deskripsi sesuatu benda tanpa menyebut namanya. Deskripsi tersebut dikomunikasikan kepada siswa dan siswa mendengarkan serta menerka benda apa yang dimaksud oleh guru. Misalnya :
Guru      : Bentuknya bulat, kecil, panjang serta lurus. Bagian depan dibuat runcing. 
                  Dapat digunakan untuk menulis
Siswa     : Pensil


d.   Metode Simak Tulis
Metode simak tulis dikenal dengan dikte/imlak. Guru mempersiapkan bahan-bahan yang akan didiktekan kepada siswanya. Siswa menulis apa yang diucapkan oleh guru.
Misalnya :
            Guru    : Tulislah kata/kalimat “Ini Mama ”
            Siswa   : Mendengarkan dengan cermat, kemudian menulis, “Ini Mama “

e.    Metode Memperluas kalimat
Guru mengucapkan kalimat sederhana. Siswa menirukan ucapan guru. Guru mengucapkan kata atau kelompok kata. Siswa menirukan ucapan guru. Selanjutnya siswa disuruh menghubungkan ucapan yang pertama dan kedua sekaligus, sehingga menjadi kalimat yang panjang. Misalnya :
Kakak belajar
Menirukan kakak belajar
(memerintahkan) menyambung kalimat
Kakak belajar di kamar belajar



f.     Metode Bisik Berantai
Guru membisikkan kaliamat kepada seseorang siswa. Siswa tersebut membisikkan kalimat tersebut kepada siswa kedua, dan seterusnya sampai anak terakhir. Guru memeriksa apakah kalimat pesan tersebut sampai kepada siswa terakhir dengan benar.

g.    Metode Menjawab Pertanyaan
Siswa-siswa yang  merasa malu untuk membicarakan atau bercerita dapat dibimbing  dengan pertanyaan guru, sehingga siswa bersangkutan menjawab pertanyaan  guru. Pertanyaan yang ajukan dapat berupa berbagai jenis pertananyaan sesuai dengan tema yang diajarkan. Misalnya, untuk memperkenalkan diri siswa, guru dapat mengajukan sejumlah pertanyaan kepada siswa mengenai nama orang tua, jumlah, umur, jumlah keluarga dan sebagainya.



h.    Metode Identifikasi Tema/Kalimat Topik/Kata Kunci
Metode identifikasi tema, kalimat topik, dan kata kunci ini pada prinsipnya sama. Perbedaannya terletak pada materi yang harus diidentifikasi. Identifikasi tema untuk sebuah wacana/cerita. Siswa disuruh menerka tema/topik/ judulnya. Kalimat topik untuk semua paragraf. Sedangkan kata kunci untuk sebuah kalimat. Apabila hal ini belum dapat dilaksanakan, guru dapat melatih siswa dengan cara memberikan pertannyaan yang memancing ke arah pengidentifikasian yang tepat. Hal ini juga baik untuk mengembangkan diskusi kelas/kelompok, yang berarti pula memupuk kerjasama antar siswa.  Contoh :
-        Silakan mencari cerita sederhana yang terdiri dari beberapa paragraf !
-        Ambil dalah satu paragraf untuk didiskusikan kalimat topiknya.
-        Ambil salah satu kalimat
-        Tentukan bersama siswa kata kuncinya: Ayah pulang dari kantor, Kata
     kuncinya kalimat tersebut adalah Aayah_Pulang.

i.      Metode Mnyelesaiakan Cerita
Guru bercerita siswa menyimak cerita tersebut dengan seksama. Guru berhenti bercerita, ceritanya baru sebagian. Cerita dilanjutkan oleh anak secara bergilir sampai cerita itu selesai sebagai suatu keutuhan. Cerita seperti ini seolah memaksa siswa untuk menyimak dengan teliti jalan ceritanya sambil menghayati cerita tersebut. Mengapa ? Karna siswa harus menyelesaikan cerita secara bergilir. Misalnya :
Murni suka sekali makan rujak. Suatu hari ketika hari masih pagi, Murni sudah menguliti mangga mentah, nenas, jambu dan sebagainya. Kemudian ia membuat sambal terasi. Diaduknya buah-buahan tersbut dengan sambal terasi. Seterusnya ia makan dengan lahapnya.
            Cerita diatas disampaikan oleh guru, selanjutnya guru menyuruh seoaran siswa untuk meneruskan cerita tersebut.
Anak pertama
Marni terlalu banyak makan rujak tersebut. Tidak lama kemudian perutnya sakit. Sebentar-sebentar ia kebelakang.
Guru kemudian menugaskan siswa lainnya untuk melanjutkan cerita tersebut sesuai dengan pendapat masing-masing siswa tersebut.
Anak kedua
Ibunya mengetahui Marni sakit akibat makan rujak, ibunya memarahi Marni , yang suka berkali-kali diingatkan oleh ibunya, agar tidak terlalu banyk makan rujak.
Guru kembali meminta siswa lainnya untuk melanjutkan cerita tersebut
Anak ketiga
Marni dibawa ke Puskesmas, untuk mendapat pengobatan dari dokter. Di sana Marni di nasehati oleh Bapak Dokter agar tidak terlalu banyak makan rujak
Demikian seterusnya hingga cerita tersebut dirasakan cukup. Dalam hal ini tugas guru adalah memberikan pengutan bahwa sejelek apapun karya siswa adalah yang terbaik bagi siswa tersebut sehingga layak dihargai. Karna karya tersebut adalah hasil dari buah pikirannya sendiri.


j.      Metode Paraprase
Paraprase berarti alih bentuk, Dalam pembeljaran bahasa, paraprase biasanya diwujudkan dalam bentuk pengalihan bentuk puisi ke prosa atau memprosakan sebuh puisi.  Guru mempersiapkan puisi sederhana yang sekiranya sesuai dengan karakteristik kelas yang dibelajarkan. Puisi tersebut dibacakan kepada siswa dan siswa menyikam dengan seksama. Pembacaan puisi tersebut hendaknya dengan jeda yang jelas dan intonasi yang tepat. Setelah selesai siswa disuruh bercerita isi puisi dengan bahasanya sendiri dalam bentuk prosa.

k.    Metode Merangkum
Merangkum berarti menyingkat atau meringkas dari bahan yang telah disimak. Dengan kata lain menyimpulkan bahan simakan secara singkat dan kata-katanya sendiri. Siswa mencari intisari bahan yang disimaknya. Bahan yang disimak sebaiknya wacana yang pendek dan sederhana sesuai dengan tingkat kematangan anak.


SEMANTIK BAHASA INDONESIA

A. Pengenalan Semantik
Menurut Katz (1971:3) semantik adalah studi tentang makna bahasa. Sementara itu semantik menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik adalah bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Secara singkat, semantik ini mengkaji tata makna secara formal (bentuk) yang tidak dikaitkan dengan konteks. Akan tetapi, ternyata ilmu yang mempelajari atau mengkaji makna ini tidak hanya semantik, ada juga pragmatik. Untuk membedakannya, berikut ini ada beberapa poin yang mudah untuk diingat dan dapat dengan jelas membedakan semantik dengan pragmatik.


Perbedaan kajian makna dalam semantik dengan pragmatik:
1. Pragmatik mengkaji makna di luar jangkauan semantik.
Contoh:
Di sebuah ruang kelas, Dewi duduk di deretan kursi belakang. Lalu, ia berkata kepada gurunya, “Pak, maaf saya mau ke belakang.

Kata yang dicetak miring itu ‘belakang’ secara semantik berarti lawan dari depan, berarti kalau dikaji secara semantik, Dewi hendak ke belakang. Akan tetapi, kalau kita lihat konteksnya, Dewi sudah duduk di deretan paling belakang. Tentu saja tidak mungkin makna ‘belakang’ yang diartikan secara semantik yang dimaksud Dewi. Nah, sekarang kita kaji dengan menggunakan pragmatik, di mana dalam pragmatik ini dilibatkan yang namanya “konteks”. Konteksnya apa? Konteksnya yaitu keadaan Dewi yang sudah duduk di belakang, sehingga tidak mungkin ia minta izin untuk ke belakang lagi (kita gunakan logika). Biasanya, orang minta izin ke belakang untuk keperluan sesuatu, seperti pergi ke toilet atau tempat lainnya. Nah, kalau yang ini masuk akal kan?
Jadi, makna kata ‘belakang’ dalam kalimat di atas tidak dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara pragmatik. Maka dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di luar jangkauan semantik.

2. Sifat kajian dalam semantik adalah diadic relation (hubungan dua arah), hanya melibatkan bentuk dan makna. Sifat kajian dalam pragmatik adalah triadic relation (hubungan tiga arah), yaitu melibatkan bentuk, makna, dan konteks.

3. Semantik merupakan bidang yang bersifat bebas konteks (independent context), sedangkan pragmatik bersifat terikat dengan konteks (dependent context). Hal ini dapat dijelaskan pada contoh soal poin ke-1. Pada contoh tersebut, ketika makna kata ‘belakang’ dikaji secara semantik, ia tidak memperhatikan konteksnya bagaimana (independent context), ia hanya dikaji berdasarkan makna yang terdapat dalam kamus. Namun, ketika kata ‘belakang’ dikaji dengan pragmatik, konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, di mana, dan apa tujuannya ini sangat diperhatikan, sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya.

4. Salah satu objek kajian semantik adalah kalimat, sehingga semantik ini sering disebut makna kalimat. Dalam pragmatik, objek kajiannya adalah tuturan (utterance) atau maksud.

5. Semantik diatur oleh kaidah kebahasaan (tatabahasa), sedangkan pragmatik dikendalikan oleh prinsip komunikasi. Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif daripada pragmatik, karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan makna yang terdapat dalam leksemnya. Kajian makna pragmatik dapat dikatakan lebih subjektif, karena mengandung konteks/memperhatikan konteks. Dan setiap orang pasti mempunyai makna sendiri sesuai dengan konteks yang dipandangnya. Selain itu, pragmatik juga dimotivasi oleh tujuan komunikasi. Selain itu, pemaknaan semantik itu ketat, karena terpaku pada makna kata secara leksikal (tanpa konteks), sedangkan pemaknaan pragmatik lebih lentur karena tidak mutlak bermakna “itu”.

6. Semantik bersifat konvensional, sedangkan pragmatik bersifat non-konvensional. Dikatakan konvensional karena diatur oleh tatabahasa atau menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan.

7. Semantik bersifat formal (dengan memfokuskan bentuk: fonem, morfem, kata, klausa, kalimat), sedangkan pragmatik bersifat fungsional.

8. Semantik bersifat ideasional, maksudnya yaitu makna yang ditangkap masih bersifat individu dan masih berupa ide, karena belum dipergunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan pragmatik bersifat interpersonal, maksudnya yaitu makna yang dikaji dapat dipahami/ditafsirkan oleh orang banyak, tidak lagi bersifat individu, karena sudah menggunakan konteks.

9. Representasi (bentuk logika) semantik suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya.
Contoh: “Kawan, habis makan-makan kita minum-minum yuk…”
• Dikaji dari semantik, kata “minum-minum” berarti melakukan kegiatan ‘minum air’ berulang-ulang, tidak cukup sekali minum.
• Dikaji dari segi pragmatik, kata “minum-minum” berarti meminum minuman keras (alkohol).



B. Jenis Semantik



Penjelasan gambar di atas:
• Kalau objek kajian semantiknya adalah makna-makna gramatikal, maka jenis semantik ini disebut SEMANTIK GRAMATIKAL. Jenis semantik ini mengkaji satuan-satuan gramatikal yang terdiri atas sintaksis dan morfologi.

Konteks morfologi:
Kata ‘sepatu’ akan memiliki makna yang berbeda setelah mengalami proses morfologis, misalnya dengan afiksasi menjadi ‘bersepatu’.

Konteks sintaksis:
- Di kebun binatang ada enam ekor beruang.
- Hanya orang yang beruang yang dapat membeli rumah itu.
Perbedaan makna ‘beruang’ pada kalimat pertama dan kedua itu terjadi karena adanya perbedaan konteks kalimat yang dimasuki kata-kata tersebut.
• Pada fonologi tidak ada semantiknya, atau dengan kata lain fonologi tidak termasuk dalam jenis-jenis semantik karena fonologi hanya mampu membedakan makna kata dengan perbedaan bunyi.
• Kalau objek kajian semantiknya leksikon (kosa kata) dari suatu bahasa, maka jenis semantiknya dinamakan SEMANTIK LEKSIKAL. Kajian semantik leksikal ini adalah makna utuh yang terdapat pada masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses apapun (proses morfologi maupun sintaksis).
• Dikatakan SEMANTIK WACANA kalau objek kajiannya adalah wacana. Tugas jenis semantik ini adalah mengkaji makna wacana. Pemaknaan suatu wacana tidak terlepas dari pola berpikir yang runtut dan logis.


C Kaidah Umum Semantik.

1. Hubungan antara leksem dengan acuannya bersifat arbitrer. Contoh: kata ‘kursi’ dengan media (yang sekarang kita ketahui wujudnya dan dinamakan kursi) itu tidak bersifat mutlak, tetapi arbitrer. Tidak ada alasan kenapa media tersebut dinamakan ‘kursi’.

2. Kajian waktunya ada yang sinkronik (melihat makna dalam kurun waktu tertentu, sehingga maknanya bersifat tetap, tidak mengalami perubahan baik dulu maupun sekarang) dan diakronik (melihat makna dalm kurun waktu panjang, sehingga maknanya relatif berubah.) Contoh diakronik adalah kata ‘bapak’. Dahulu, kata ‘bapak’ digunakan pada seorang laki-laki yang mempunyai hubungan darah (dengan anaknya), sedangkan sekarang kata ‘bapak’ dapat digunakan pada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah sekalipun, belum tua, dan bahkan belum menikah, misalnya ‘Bapak guru’, ‘Bapak walikota’, ‘Bapak camat’, dsb.

3. Beda bentuk, beda makna.
Contoh kata ‘bisa’ dan ‘dapat’, di mana arti keduanya bersinonim. Akan tetapi, setelah keduanya mendapatkan proses morfologis, misalkan afiksasi ‘peN- + -an’, sehingga bentuknya menjadi ‘pembisaan’ dan ‘pendapatan’. Jelas sekali kata ‘dapat’ yang diberi proses morfologis itu lebih berterima daripada kata ‘bisa’ setelah mendapat proses morfologis.

4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri.
Contoh:
Kata ‘pipis’, dalam Bahasa Sunda kata tersebut berarti ‘air kencing’, tetapi dalam Bahasa Bali kata tersebut berati ‘uang jajan’. Contoh lainnya yaitu ‘kodok’, dalam Bahasa Sunda berarti ‘mengambil sesuatu dari sebuah lubang yang dalam’, sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti ‘katak’.

5. Makna berkaitan dengan pandangan hidup/budayanya.
Pada poin ini berkaitan dengan tabu atau tidaknya penggunaan kata tersebut di suatu masyarakat. Contoh kata ‘anjing’, bagi orang Islam kata ‘anjing’ dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bernajis, tetapi bagi orang Kristen dapat dimaknai sebagai hewan yang lucu dan menggemaskan. Contoh lainnya yaitu kata ‘momok’, bagi masyarakat Indonesia (umum) kata tersebut berarti sesuatu yang menakutkan, tetapi bagi masyarakat Sunda kata tersebut berati vagina. Satu contoh lagi yaitu kata ‘butuh’, bagi masyarakat Indonesia (umum) kata tersebut berati ‘perlu’, tetapi bagi masyarakat di Kalimantan dapat berarti ‘nama kemaluan pria’.

6. Luasnya bentuk ≠ luasnya makna.
Secara bentuk, semakin lebar (kata-kata yang digunakan) maka semakin sempit maknanya, begitu sebaliknya. Contoh:
Kereta
Kereta api
Kereta api ekspres
Bandingkan makna kata ‘kereta’ dengan makna yang terkandung dalam ‘kereta api ekspres’. Secara bentuk, kata ‘kereta’ lebih simpel daripada ‘kereta api ekspres’. Akan tetapi secara makna, makna ‘kereta’ masih terlalu luas, apakah yang dimaksudkan itu kereta api atau kereta uap, atau kereta apa? Sedangkan makna ‘kereta api ekspres’ sudah jelas berarti kereta api khusus yang lajunya lebih cepat dan fasilitas serta pelayanannya lebih baik daripada kereta api ekonomi.


D. Penamaan dalam Semantik
Penamaan dalam semantik ini ada 8 penyebab yaitu:
1. Peniruan bunyi; contohnya ‘tokek’ disebut demikian karena bunyi hewan tersebut adalah ‘tokek-tokek’. Penamaan sesuatu berdasarkan peniruan bunyinya disebut ONOMATOPE.
2. Penyebutan bagian; contoh “Ibu membeli empat ekor ayam” yang dimaksud kalimat tersebut pastilah bukan hanya ekor ayamnya saja yang dibeli ibu, tetapi ayam secara keseluruhan.
3. Penyebutan sifat khas; contoh ‘si kerdil’ karena anak tersebut tetap berbadan kecil, tidak tumbuh menjadi besar.
4. Penemu dan pembuat; contoh ‘Aqua’ dan ‘kodak’, kalau kita mau membeli air minum dalma kemasan, pasti kita akan berkata, “Pak, beli Aqua satu botol.” Padahal di toko tersebut tidak ada air minum kemasan bermerek Aqua. Demikian juga dengan ‘Kodak’ yang merupakan nama merek sebuah kamera.
5. Tempat asal; contoh kata ‘magnet’ berasal dari nama tempat Magnesia, nama burung ‘kenari’ diambil dari asal burung itu berada yaitu Pulau Kenari di Afrika, ikan ‘sarden’ berasal dari Pulau Sardinia di Italia. Ada juga nama piagam atau perjanjian-perjanjian besar seperti ‘Piagam Jakarta’ karena tempatnya di Jakarta, ‘Perjanjian Linggarjati’ karena pelaksanaan perjanjian tersebut di Linggarjati.
6. Bahan; contoh nama karung ‘goni’ karena bahan karung tersebut dari goni, dan ‘bambu runcing’ karena benda tersebut terbuat dari bambu dan ujungnya runcing.
7. Keserupaan; perhatikan contoh ‘kaki’, ‘kaki gunung’, ‘kaki kursi’, dan ‘kaki meja’, hal yang sama dari empat contoh tersebut adalah letaknya, di mana letak kaki selalu ada di bawah. Contoh lain misalnya ‘kepala’, ‘kepala masinis’, ‘kepala sekolah’, dan ‘kepala surat’, hal yang sama pada kata-kata tersebut yaitu letaknya, di mana letak kepala selalu berada di atas, ‘kepala surat’ selalu diletakkan di bagian atas kan? ^_^
8. Pemendekan; contoh ‘UPI’ menjadi nama sebuah universitas negeri di Bandung, padahal namanya bukan UPI, tetapi Universitas Pendidikan Indonesia. Contoh lain yaitu ‘cireng’ yang menjadi nama sebuah makanan ringan, ‘cireng’ merupakan kependekan dari ‘aci digoreng’.


E. Aspek Makna
Aspek makna dibedakan atas empat macam yaitu pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan maksud atau tujuan (intention). Pengertian sense sama dengan tema. Perasaan berkaitan dengan sikap pembicara terhadap apa yang sedang dibicarakan serta bagaimana situasi pembicaraan saat itu. Nada adalah sikap pembicara terhadap lawan bicaranya. Maksud adalah hal yang mendorong pembicara untuk mengungkapkan satuan-satuan bahasa. Contohnya yaitu “Hari ini panas”, apabila orang yang diajak berbicara itu menanggapinya dengan hal lain seperti meminta minum, maka akan berbeda pula dengan maksud di penutur (hanya memberi tahu bahwa hari ini cuacanya panas).


F. Jenis Makna


Makna leksikal adalah makna yang terdapat pada kata tersebut secara utuh, sesuai dengan bawaannya. Contoh “Tikus itu mati diterkam kucing”, makna kata ‘tikus’ pada kalimat tersebut adalah ‘binatang tikus’, bukan yang lainnya.

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun.

Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus maupun umum. Contoh kata ‘sekolah’ dalam kalimat “Sekolah kami menang”, bukan hanya gedung sekolahnya saja yang menang, tetapi juga mencakup guru-gurunya, muridnya, dan warga sekolah lainnya. Bila kita berkata, “Ani sekolah di Lampung”, hal ini sudah tidak dapat dikaitkan dengan makna konseptual sekolah, tetapi sudah lebih luas yaitu Ani belajar di gedung yang namanya sekolah dan sekolah tersebut berada di Lampung.

Makna spesifik adalah makna konseptual yang khusus, khas, dan sempit. Contoh pada kalimat “Pertandingan sepak bola itu berakhir dengan kemenangan Bandung”, yang dimaksud hanya beberapa orang yang bertanding saja, bukan seluruh penduduk Bandung.

Makna asosiatif disebut juga makna kiasan. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Contoh kata ‘bunglon’ berasosiasi dengan makna ‘orang yang tidak berpendirian’, kata ‘lintah darat’ berasosiasi dengan makna ‘orang yang suka memeras (pemeras) atau pemakan riba’.

Makna konotatif adalah makna yang digunakan untuk mengacu bentuk atau makna lain yang terdapat di luar leksikalnya.

Makna afektif adalah makna yang muncul akibat reaksi pendengar atua pembaca terhadap penggunaan bahasa. Contoh “datanglah ke pondok buruk kami”, gadungan ‘pondok baru kami’ mengandung makna afektif ‘merendahkan diri’.

Makna stilistika adalah makna yang timbul akibat pemakaian bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistika lebih dirasakan di dalam karya sastra.

Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama. Contoh kata-kata ikan, gurame, sayur, tomat, minyak, bawang, telur, garam, dan cabai tentunya akan muncul di lingkungan dapur. Contoh lain yaitu bantal, kasur, bantal guling, seprei, boneka, selimut, dan lemari pakaian tentu akan muncul di lingkungan kamar tidur.

Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Dalam Bahasa Indonesia ada dua macam idiom yaitu IDIOM PENUH dan IDIOM SEBAGIAN. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan merupakan satu-kesatuan dengan satu makna. Contoh “Orang tua itu membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan anaknya”, ungkapan ‘membanting tulang’ dalam kalimat tersebut tentu memiliki satu kesatuan makna yaitu ‘kerja keras’. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalam unsur-unsurnya masih terdapat unsur yang memilikii makna leksikal. Contoh ‘daftar hitam’ yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah’.

Makna kontekstual muncul sebagai akibat adanya hubungan antara ujaran dengan situasi. Contoh “Saya lapar, Bu, minta nasi!” yang berarti orang tersebut berada dalam situasi yang benar-benar lapar dan ia meminta nasi.

Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsiinya sebuah kata dalam suatu kalimat. Contoh kata ‘mata’, secara leksikal bermakna alat/indera yang berfungsi untuk melihat, tetapi setelah digabung dengan kata-kata lain menjadi ‘mata pisau’, ‘mata keranjang’, ‘mata air’, ‘air mata’, dan ‘mata duitan’ maka maknanya akan berubah menjadi makna gramatikal.

Makna tematikal adalah makna yang dikomunikasikan oleh pembicara/penulis melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan. Contoh “Aminah anak Bapak Roni meninggal dunia kemarin”, makna dari kalimat tersebut bisa ada tiga yaitu:
(1) Aminah/anak Bapak Roni/meninggal kemarin.
(2) Aminah!/anak Bapak Roni meninggal kemarin.
(3) Aminah/anak/Bapak/Roni/meninggal kemarin.

Makna kalimat (1) adalah anak Bapak Roni yang bernama Aminah telah meninggal kemarin, kalimat (2) berarti sebuah informasi memberi tahu Aminah bahwa anak Bapak Roni yang entah siapa namanya telah meninggal kemarin, dan kalimat (3) berarti ada emmpat orang yang meinggal kemarin yaitu Aminah, anak, Bapak, dan Roni.


G. Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan antara makna kata yang satu dengan makna kata yang lainnya. Prinsip relasi makna ada empat yaitu prinsip kontiguitas, prinsip komplementasi, prinsip overlaping, dan prinsip inklusi. PRINSIP KONTIGUITAS adalah prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki makna yang sama/mirip; prinsip ini dapat menimbulkan relasi makna yang disebut SINONIMI. PRINSIP KOMPLEMENTASI adalah prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang lainnya; prinsip ini dapat menimbulkan relasi makna yang disebut ANTONIMI. PRINSIP OVERLAPING adalah prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda, atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda maknanya; prinsip ini menimbulkan adanya relasi makna yang disebut HOMONIMI dan POLISEMI. PRINSIP INKLUSI adalah prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup beberapa mekna kata lain; prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut HIPONIMI.

Contoh sinonimi:
• Pintar, pandai, cerdik, cerdas, cakap
• Cantik, molek, bagus, indah, permai
• Bunga, kembang, puspa
• Aku, saya, beta, hamba

Contoh antonimi:
• Kuat >< dingin

Contoh homonimi:
a) Homonimi yang berhomograf dan berhomofon:
• bisa = (1) sanggup/dapat, (2) racun ular
• buku = (1) media untuk menulis/membaca, (2) bagian tekukan pada jari-jari

b) Homonimi yang tidak berhomograf (homofon):
• bang = bentuk singkat dari ‘abang’ yang berarti kakak laki-laki
• bank = lembaga yang mengurus lalu lintas uang
• sangsi = ragu-ragu, bimbang
• sanksi = hukuman, konsekuensi, akibat
• sah = dilakukan menurut hukum
• syah = raja
• syarat = ketentuan
• sarat = penuh

c) Homonimi yang tidak berhomofon (homograf):
• teras = pegawai utama
• teras [tѐras] = halaman depan rumah, lantai rumah tempat bersantai
• apel = nama buah
• apel [apѐl] = upacara resmi
• tahu [tau] = mengerti, paham
• tahu = nama makanan yang terbuat dari kedelai yang digiling halus


contoh hiponimi:



Hubungan antar hiponim (merah, kuniing hijau) disebut kohiponim.

Contoh polisemi:
• kepala (karena selalu terletak di bagian atas/tertinggi posisinya, contoh kepala suku, kepala surat, kepala sekolah)
• mulut (sebagai jalan masuk dan letaknya selalu di depan, contoh mulut gua, mulut harimau, mulut gang, mulut botol)
• bibir (terletak di tepian, contoh bibir sungai)

PENGETAHUAN/TEORI SASTRA

Periodisasi Sastra Indonesia
1. Periodisasi Sastra
o Pengertian:
 penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
o Periodisasi sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
o Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
 HB. Jassin
 Ajip Rosidi
 A. Teeuw
 Rahmat Djoko Pradopo
o Yang akan dibahas dalam presentasi ini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin.
2. Periodisasi Sastra Indonesia Menurut HB. Jassin
Berikut ini adalah periodisasi sastra menurut HB. Jassin:
o Sastra Melayu Lama
o Sastra Indonesia Modern
 Angkatan Balai Pustaka
 Angkatan Pujangga Baru
 Angkatan ’45
 Angkatan ‘66
• Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu Lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad 20.
Ciri-ciri Sastra Melayu Lama:
o Masih menggunakan bahasa Melayu
o Umumnya bersifat anonim
o Berciri istanasentris
o Menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dsb.
Contoh sastra pada masa Sastra Melayu Lama:
 Dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, binatang jadi-jadian, dsb.
 Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.
 Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai oleh Hamzah Fansuri.
 Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji
• Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan titik tolak kesustraan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
o Menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh bahasa Melayu
o Persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa
o Dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal
o Cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat. Balai Pustaka berhak
mengubah naskah apabila dipandang perlu.
Contoh hasil sastra yang mengalami pen-sensoran adalah Salah Asuhan oleh Abdul Muis yang diubah bagian akhirnya dan Belenggu karya Armyn Pane yang ditolak oleh Balai Pustaka karena tidak boleh diubah.
• Angkatan Balai Pustaka
• Contoh sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka:
o Roman
 Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
 Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
 Muda Teruna (M. Kasim)
 Salah Pilih (Nur St. Iskandar)
 Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
o Kumpulan Puisi
 Percikan Permenungan (Rustam Effendi)
 Puspa Aneka (Yogi)
• Angkatan ‘45
• Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
• Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
o Terbuka
o Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
o Corak isi lebih realis, naturalis
o Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
o Penghematan kata dalam karya
o Ekspresif
o Sinisme dan sarkasme
o Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Chairil Anwar , sastrawan Angkatan ‘45
• Angkatan ‘45
• Contoh sastra pada masa Angkatan ’45:
o Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)
o Deru Campur Debu (Chairil Anwar)
o Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)
o Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)
o Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)
o Tandus (S. Rukiah)
o Puntung Berasap (Usmar Ismail)
o Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)
o Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)
o Dalam Sajak (Sitor Situmorang)
o Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)
• Angkatan ‘66
• Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
• Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lainnya.
• Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
o Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
o Bercorak membela keadilan
o Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
o Berontak
o Pembelaan terhadap Pancasila
o Protes sosial dan politik
• Angkatan ‘66
• Contoh sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
o Putu Wijaya
 Pabrik
 Telegram
 Stasiun
o Iwan Simatupang
 Ziarah
 Kering
 Merahnya Merah
o Djamil Suherman
 Sarip Tambak-Oso
 Perjalanan ke Akhirat
• ANGKATAN PUJANGGA BARU
• Angkatan Pujangga Baru
• Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
• Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
• Angkatan Pujangga Baru
• Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
• Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
o Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
o Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
o Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
• Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
• Angkatan Pujangga Baru
• Pada masa ini, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
• Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
o Kelompok “Seni untuk Seni”
o Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”
• Angkatan Pujangga Baru
• Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:
o Sudah menggunakan bahasa Indonesia
o Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
o Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
o Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
• Angkatan Pujangga Baru
• Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
• Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
o Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
o Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
o Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan.

TEORI-TEORI SASTRA BAGI GURU BAHASA DAN SASTRA INDONESIA *

Karya sastra bersifat multiinterpretable. Oleh karena itu,  penafsiran makna sebuah karya sastra oleh para  pembacanya  melibatkan berbagai strategi  dan pendekatan  yang multiinterpretable  pula sesuai  latar belakang pembaca atas suatu pesan dalam suatu  karya sastra yang memiliki konvensi kebahasaan dan kesastraan tersendiri bagi sebuah ilmu.

Masalah  penafsiran dalam menggeluti karya sastra  adalah  masalah dasar dalam khasanah teori dan kritik sastra. Kehadiran  berbagai pendekatan untuk pemahaman karya sastra seperti Semiotik; Strukturalisme;  Sosiologi Sastra; Estetika  Resepsi;  Fenomenologi; Hermeunetik, dan sebagainya dapat membantu juru tafsir untuk menelaah dan  menafsirkan  arti/makna karya  sastra.
Penafsiran  merupakan bekal  utama untuk apresiasi, kririk, dan  pengajaran karya-karya sastra  sehingga  pembaca mampu  menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jadi, di satu sisi dituntut pemahaman tentang cara penafsiran yang cukup komprehensif,  di  sisi lainnya  dituntut  pembacaan  karya sastra  sebanyak dan semendalam mungkin. Tumbuh dan  berkembangnya wawasan  sastra  hanya bisa  dicapai  dengan   menumbuhkembangkan strategi penafsiran dan pembacaan karya sastra secara terus menerus.Berbagai teori dan pendekatan dalam upaya penafsiran sebuah  karya sastra agar menjadi lebih jelas maknanya bagi pembaca dalam  menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah  karya sastra  pernah  dikembangkan oleh antara lain:  T.S. Kuhn;  Roman Jakobson;  Gerald Prince; Edmund Huserl dan Roman Ingarden; Wolfgang  Iser, Hans Robert Jauss,  Stanley Fish, Riffaterre,   Jonathan Culler, dll.
Soal pembaca bagi sebuah Teori Ahli filsafat, T.S. Kuhn memperkuat keraguan kepada teori Relativitas Einstein  yang  mengungkapkan  bahwa  pengetahuan objektif secara  sederhana  adalah sebuah penumpukan fakta yang  keras  dan progresif.  Kuhn berpendapat bahwa apa yang muncul  sebagai  fakta dalam ilmu  pengetahuan  tergantung pada  rangka  referensi  yang dibawa pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek pemahaman. Memakai  analog  Psikologi Gestalt dan model  komunikasi  Teka-teki Bebek-Kelinci  dan Komunikasi Linguistik Roman Jakobson, ia  yakin bahwa pengamat adalah berperan aktif dalam rangka pemahaman  suatu karya sastra. Artinya, hanya pengamatlah yang mampu memutuskan dan mengambil  simpulan paling tepat atas suatu teks maupun  berbagai kode yang ada dalam suatu karya sastra. Ahli sastra lain, Gerald Prince, bahkan lebih rumit lagi  membedakan posisi pembaca dengan naratee. Ia menginginkan sang naratee(si diceritai) berdiri secara khusus berdasarkan jenis kelamin, kelas, situasi,  ras  bahkan umur. Akibatnya, efek  teori  Prince  adalah menyoroti dimensi penceritaan yang telah dimengerti secara  intuitif  oleh para pembaca, tetapi masih tetap kabur dan tidak  pasti. Ia  menekankan  pada cara yang  ditempuh  pencerita(sang naratif) untuk menghasilkan pembaca atau pendengarnya sendiri, yang mungkin atau tidak mungkin bersamaan dengan pembaca nyata.
A Teeuw  dalam buku Sastra dan  Ilmu  Sastra (1984:43) menelaaah berbagai pendekatan dalam apresiasi sastra uintuk  memahami  karya sastra,"  Sastra sebagai model semiotik tidak dapat  diteliti  dan dipahami  secara ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek  kemasyarakatannya,  yakni  sebagai tindak komunikasi." Ia  menyebut  berbagai model  pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra sehingga  turut memperkuat fakta bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang  kaya akan makna, sehingga tidak mudah didekati hanya dengan satu pendekatan saja.
Beberapa pendekatan yang dibutuhkan dalam apresiasi sastra seperti yang
dijelaskan Teeuw untuk para pembaca di antaranya yang  sudah dikembangkan Umar Junus dalam pendekatan Pragmatik adalah pendekatan Resepsi sastra dari teori Iser (pembaca  implisit)  dan  Hans Robert Jauss (horison harapan).Jauss  menitikberatkan perhatiannya kepada bagaimana karya  sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horison  penerimaan tertentu  atau berdasarkan horison yang diharapkan. Karya  sastra dapat  hidup  jika pembaca berpartisipasi dan  dengan  partisipasi pembaca itu, konteks sejarah terciptanya karya sastra bukan  merupakan  sesuatu  yang  faktual, tetapi hanya  merupakan  rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri yang ujudnya terpisah dari embaca. Karya  yang  telah dipahami pembaca menjadi  modal bagi  resepsi. Proses  resepsi menjadi perluasan semiotik yang timbul dalam
pengembangan  dan perbaikan suatu sistem. Horison penerimaan  mungkin
berubah (bahkan berkali-kali).
Selanjutnya Jauss menyatakan bahwa pendekatannya bersifat parsial, tidak menyeluruh karena hanya melakukan hubungan hari ini  dengan "virtue" sejarah. Resepsi hanya berklaitan dengan saat karya  itu dibaca sehingga terdapat konvergensi antara teks dan resepsi  yang berupa  dialog antara subjek hari ini dengan subjek masa  lampau. Tradisi  berperan  penting dalam hal ini.  Tradisi  yang  dimaksud adalah  wawasan  yang mendasari resepsi yang dilakukan  pada  saat tertentu.Jika resepsi Jauss mementingkan sejarah pada suatu saat  tertentu, maka Resepsi Iser bertitik tolak pada kesan(sebenarnya pada  tahap akhir teori Jauss juga disebut-sebut tentang kesan). Iser  mempermasalahkan konkretisasi karya sastra, yakni reaksi pembaca  terhadap  teks  yang diresepsi. Dalam resepsi Iser,  terdapat  dinamika pembaca.  Ia  akan memilih satu di  antara berbagai  kemungkinan realisasi,  sehingga  tugas kritikus dalam  pandangan Iser  bukan menerangkan  teks sebagai objek, tetapi menerapkan efeknya kepada pembaca.  Kodrat teks itulah yang mengizinkan beraneka  ragam kemungkinan pembacaan, sehingga lahir pembaca implisit(pembaca  yang diciptakan  sendiri oleh teks dirinya dan menjadi  jaringan  kerja struktur yang  mengundang jawaban, yang mempengaruhi  kita  untuk membaca dalam cara tertentu) dan pembaca nyata (yang menerima citra mental  tertentu dalam proses pembacaan yang diwarnai oleh  persediaan pengalaman yang ada). Dalam resepsi Iser, ada hubungan teks dan pembaca.  Hubungan  itu melalui  tiga langkah, yakni 1. sketsa tentang  suatu  teks  yang membedakan dengan teks-teks sebelumnya; 2. pengenalan dan analisis terhadap  kesan  dasar teks; dan 3. mencari kemungkinan  yang  ada tentang makna karya satra. Karya sastra selanjutnya memberi  kesan kepada pembaca, sehingga teori Resepsi sastra Jauss dan Iser  tampaknya mendapat  pengaruh Hermeunetika  dari Schleiermacher  dan Gadamer.
Jika  Jauss  dan Iser berperan dalam resepsi sastra  yang  memberi kesan kepada pembaca, Edmund Husserl, seorang ahli filsafat modern terkenal dengan teori Fenomenologi-nya dalam kaitan antara  karya sastra dengan pembacanya. Teori fenomenologi menuntut untuk menunjukkan kepada kita alam yang mengarisbawahi, baik kesadaran  manusia maupun kesadaran fenomena.Teori ini adalah usaha untuk menghidupkan ide(setelah zaman Romantik) bahwa pikiran manusia   individual adalah pusat dan asal semua arti. Teori ini tidak mendorong keterlibatan subjektif secara murni untuk struktur mental kritikus karena menggunakan berbagai lapis norma karya, tetapi tipe  kritik sastra yang mencoba masuk ke dalam dunia karya seorang penulis dan sampai pada suatu pengertian tentang alam dasar atau  intisari tulisan sebagaimanatampak dalam kesadaran kritikus.
Ahli satra lain, kritikus Amerika yang bernama Stanley Fish menyodorkan
teori Stilistika Efektif  yang memusatkan penyesuaian  harapan  yang  dibuat pembaca ketika membaca teks,  tetapi  ia  lebih menekankan  pada  rangkaian kalimatnya.  Fish  berpendapat  bahwa pembaca  adalah seseorang yang memiliki kompetensi linguistik yang telah memasukan pengetahuan sintaktik dan semantik yang diperlukan untuk membaca  selain  penguasaan  kompetensi sastra   secara khusus(konvensi bahasa dan konvensi sastra). Namun,Jonathan  Culler, salah seorang murid Fish  justru  selain mendukung  juga memberikan kritik atas pendapat  Fish  karena  ia dianggap  gagal meneorikan konvensi-jkonvensi pembacaan, yaitu  ia gagal  mengajukan pertanyaan,"konvensi-konvensi apa yang  diikuti pembaca?"  Selain  itu, ia dianggap gagal  pada tuntutannya  atas pembaca  kalimat perkataan demi perkataan dalam  suatu  pengurutan waktu  itu  menyesatkan( tidak ada alasan mempercayai  bahwa  para pembaca  secara  nyata  membaca kalimat  dan memecahkannya  serta melakukannya sedikit demi sedikit secara bertahap).
Selanjutnya  Culler membuat teori pembacaan yang harus  mengungkap operasi penafsiran yang dipergunakan pembaca karena pembaca  yang berbeda akan menghasilkan tafsiran yang berbeda pula. Jadi, menurutnya  bermacam-macam penafsiran inilah yang  harus  diterangkan sebuah teori meskipun hasil pembacaan akan berbeda artinya, walaupun mengikuti perangkat konvensi penafsiran yang sama. Dampaknya, Culler memberikan pendekatan yang mengizinkan suatu prospek sejati kemajuan teoritis. Sedangkan Fish memberikan metode yang  berguna, tetapi  menutup persoalan  teori yang mendasar  atau  pendekatan Rifartere yang menghasilkan sebuah baju pengikat yang teoritis. Rifartere  memberikan baju pengikat yang teoritis  terutama pada bukunya Semiotics of Poetry(1978),  yang di dalamnya ia  mengatakan bahwa pembaca yang berkompeten melampaui arti permukaan. Ia penganut Formalis Rusia dalam memandang puisi sebagai sebuah penggunaan bahasa  yang khusus. Menurutnya, diperlukan kompetensi  linguistik biasa untuk memahami arti sebuah puisi, tetapi pembaca juga memerlukan kompetensi sastra untuk menghadapi ketidakgramatikalan  yang sering  dijumpai  di  dalam pembacaan sebuah  sajak.  Sehingga  ia mengajukan matrik strutural/hipogram sebagai salah  satu  upaya pengujian  sebuah  sajak sebagai satu kesatuan.
Sayangnya   teori Rifarterre  ini  memiliki banyak kesukaran bagi  para
pembacanya, misalnya teori ini tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang kita pikirkan sepenuhnya secara "lurus saja. Sedangkan ahli lain dari dunia psikologi, yakni Norman Holland dan David Bleich, yang telah menderevasi pendekatan  teori  pembacaan dari sisi psikologi,  memandang bahwa  pembacaan  sebagai  suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepeda keperluan psikologis pembaca. Buku Kritik Sastra Subjektif(1978)  karya David  Bleich adalah satu bukti pendukung bahwa  dalam pembacaan telah  terjadi  pergeseran dari paradigma objektif  ke  paradigma subjektif. Hal  yang juga menjadi legitimasi  atas teori  khusus Norman Holland bahwa setiap anak menerima  kesan"identitas pertama"  dan  orang dewasa menerima "identitas tema".Artinya, ketika kita  membaca  suatu  teks kita memprosesnya  sesuai  dengan  tema identitas  secara  stabil. Jadi, kita mempergunakan  karya  sastra untuk melambangkan dan akhirnya meniru kita sendiri. Kita menyusun kembali karya itu untuk menemukan ciri strategi kita untuk  menguasai ketakutan yang dalam dan keingintahuan yang membentuk kehidupan psikis kita.
Ending
Teori  yang  berorientasi kepada pembaca,  tidak  mempunyai  titik tolak filosofis yang tunggal atau utama. Para penulis  teori  di atas berasal dari tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Jauss dan Iser serta Edmund Huserl tertarik pada Resepsi, Fenomenologi  dan Hermeunetik  dalam usahanya untuk menerangkan proses pembacaan dan hubungannya  dengan  kesadaran  pembaca.
Rifartere   mensyaratkan pembaca  yang memiliki kompetensi sastra yangkhusus. Stanley  Fish percaya bahwa para pembaca memberi respon pada pergurutan perkataan dalam kalimat, apakah kalimat itu bersifat sastra atau tidak. Jonathan Culler mencoba menetapkan penafsiran menurut teori Strukturalis yang berusaha menyingkap kebiasaan-kebiasaan dalam strategi pembaca dan diakui strategi yang sama dapat pula menghasilkan tafsiran yang berbeda. Norman Holland dan David Bleich memandang pembacaan sebagai suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepada kepercayaan psikologis pembaca. Umumnya teori-teori sastra yang berorientasi kepada pembaca menentang keunggulan teori Kritik Sastra Baru dan Formalisme Rusia yang berorientasi kepada teks karena tidak bisa berbicara tentang arti sebuah teks tanpa memandang sumbangan pembaca kepadanya.Usaha  pemahaman dan penafsiran karya sastra adalah usaha  konkretisasi karya sastra oleh pembaca.  Wawasan sastra  yang  dimiliki akan memungkinkanpemilihan metode yang tepat untuk karya tertentu yang bersifat khas. Ada karya yang dapat ditelaah dengan  pendekatan tertentu dan ada juga yang melalui pendekatan lainnya.  Teori, metode, dan pendekatan itu dapat dipergunakan secara  komprehensif karena proses dari konkretisasi apresiasi karya sastra berlangsung secara kemoprehensif pula, sehingga pembaca diusahakan agar selalu meningkatkan  wawasan  sastra, baik dalam konsep-konsep  teoritis maupun dalam penghayatan langsung dengan karya sastra.

Puisi "Awal yang Baru"

  AWAL YANG BARU Karya Ade Irawan Setiawan   Saat malam mulai datang Suasana sunyi senyap Aku terbujur dalam kekakuan Karena hati ...