Thursday, January 10, 2019

CERPEN "UNTUK IBU"



UNTUK IBU

Ana adalah seorang gadis remaja yang saat ini masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Atas Negeri di kotanya. Kata orang Ana mempunyai wajah yang cantik dan manis, tubuhnya yang montok dan seksi membuat lelaki yang melihatnya selalu melirik dengan mata yang penuh birahi. Ia tinggal bersama ibunya yang hanya seorang pedagang sayur keliling, dan ayahnya sudah lama meninggal sejak Ana masih berumur 2 tahun. Kehidupannya yang serba sederhana membuat Ana menjadi gadis yang begitu mandiri dan begitu berbakti kepada Ibunya. Ia rela berbuat apa saja asalkan bisa membuat Ibunya bahagia.
Pagi itu waktu sudah menunjukan jam 6 pagi, “sial, aku bangun kesiangan lagi, celaka bisa-bisa aku kena hukuman dari Guruku”, Pikir Ana dalam hati. Ana bergegas menuju kamar mandi, dan setelah itu memakai pakaian seragam sekolahnya. Dimeja makan sudah tersedia sarapan pagi untuknya, tapi berhubung ia sudah terlambat, ia menghiraukan sarapan pagi untuknya.
“Ana, sarapan pagi dulu nak, Sahut Ibunya”.
“Entar aja Bu di sekolah, Ana udah terlambat nih, Ana berangkat dulu ya Bu, jawabnya”.
Berhubung Ana tidak mempunyai kendaraan pribadi, setiap hari Ana naik kendaraan umum, ke sekolahnya. Setelah sampai, ternyata gerbang sekolah belum tertutup, “untunglah aku belum terlambat, pikir Ana dalam hati”.
Keringat dingin terus memasahi bajuku, berharap belum ada guru yang masuk kedalam kelasku.  Setelah sampai di depan kelas, ternyata belum ada guru yang masuk. “Untunglah aku belum terlambat, gurau Ana dalam hati”.
“Ana kamu terlambat lagi ya?” tanya temanku Rani.
“Iya nih Ran, aku kesiangan lagi, semalam aku begadang dan tidur larut malam, jawab Ana”.
 Rani adalah sahabat baikku. Rani termasuk anak yang cerdas diantara teman-temanku yang lain. Dia merupakan juara Nasional Olimpiade Matematika di sekolahku, dan dia adalah teman sebangkuku di kelas. Dia juga teman yang selalu membantu jika aku merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, karena aku akui, aku tidak sepintar darinya. Di sekolah aku menjadi rebutan teman-teman lelakiku, karena mereka tertarik dengan kecantikanku. Hampir semua siswa di sekolahku berkeinginan menadapatkan cinta dariku.
 Bel berbunyi, waktu menunjukan jam 7 pagi, itu tandanya jam pertama pelajaran akan segera dimulai. Ana bergegas membuka tas dan mengeluarkan buku pelajaran Bahasa Indonesia, karena jam pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Tak lama kemudian Ibu guru datang dan memberikan materi pembelajaran tentang mengarang. Ana dan Rani pun mendengarkan materi yang disampaikan oleh gurunya, karena  Ujian Akhir Sekolah semakin dekat Ana mulai rajin belajar. Ana ingin lulus dengan nilai yang memuaskan dan mebuat bangga Ibunya. Ana juga nantinya ingin melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi Negeri yang ia cita-citakan.
Setiap sepulang dari sekolah Ana selalu meluangkan waktu untuk belajar, karena ia tak mau mendapatkan hasil yang mengecewakan dalam UAS nanti. Ia juga tak mau membuat Ibunya kecewa, karena Ibunya rela bekerja keras untuk membiayai sekolahnya. Ana juga rela bekerja sampingan sebagai penjual gorengan untuk mendapatkan uang tambahan dan uang jajan, ia tidak mau terus bergantung kepada Ibunya. Tak ada rasa malu dalam hati Ana, meskipun hanya seorang penjual gorengan keliling.
Pada suatu waktu ibunya jatuh sakit keras, dan memaksanya untuk dibawa ke rumah sakit. Ibunya telah lama mengidap sakit asma yang kronis, dan harus segera di operasi. Ana kebingungan entah apa yang mesti ia lakukan agar Ibunya bisa segera di operasi, dan biaya operasi itu sekitar 30 juta. Ia bingung, darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan ia hanya orang miskin yang tak mampu membayar biaya operasi sebanyak itu. Dia kemudian mencari pinjaman kepada teman-temannya, tetapi temannya tidak ada yang sanggup untuk memberinya pinjaman sebanyak itu.
Hingga suatu ketika temannya yang bernama Rani menyuruh Ana untuk melakukan suatu pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Rani adalah sahabat Ana sewaktu kecil. Ana telah bersahabat dengan Rini sejak lama, hubungan mereka sangat baik, dan Ana telah menganggap Rani sebagai kakaknya sendiri. Rani merupakan gadis yang masih remaja, dia putus sekolah karena orang tuanya tak mampu membiayai sekolahnya. Demi menyambung hidupnya, Rani melakukan pekerjaan yang seharusnya tak pantas dia lakukan. Meskipun dia masih terbilang masih remaja dia rela menjajakan tubuhnya kepada para lelaki hidung belang, demi sepeser uang untuk menyambung hidupnya. Ya,,, itulah hidup.
“Ana, pasti kamu sedang membutuhkan banyak uang untuk operasi Ibumu kan?”, sahut Rani.
“Iya Ran, aku bingung, apa yang mesti aku lakukan agar bisa mendapatkan uang 30 juta untuk biaya operasi Ibuku!”
“Apakah kamu bisa memberikan pinjaman uang kepadaku Ran?” Tanya Ana.
“Maaf Ana, aku tak punya uang sebanyak itu, tapi apakah kamu mau melakukan suatu pekerjaan yang bisa mendapatkan banyak uang?”, Tanya Rani.
 “Pekerjaan apapun akan aku lakukan Ran, memang pekerjaan apa yang mesti aku lakukan?”, jawab Ana dengan penuh harapan.
“Kamu hanya tinggal menjual kehormatanmu kepada para lelaki hidung belang, apakah kamu sanggup Ana?”. Ana merasa kaget dengan yang dikatan Rani, dia berpikir sejenak, apakah sanggup ia melakukannya.
“Tuhan, apakah ini jalan satu-satunya yang harus aku lakukan, demi kesembuhan Ibuku”, pikir Ana dalam hati.
Ana berpikir sejenak, merenung dengan raut wajah kebingungan, antara sanggup atau tidak ia melakukannya.
“Ya, aku sanggup Ran”, aku akan melakukan apa saja demi kesembuhan Ibuku”, jawab Ana dengan nada dan raut wajah yang begitu sedih.
“Jika itu memang jalan satu-satunya, aku rela menjual satu-satunya kehormatanku demi sepeser uang untuk kesembuhan Ibuku”.
“Jika kamu mau Ana, nanti aku ajak kamu pergi ke suatu tempat, dan disana kamu pasti mendapatkan banyak uang. Kamu disana hanya tinggal duduk dan menunggu lelaki hidung belang yang akan membeli kehormatanmu, setelah itu kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan dari lelaki itu. Sahut Rani”.
Ana merasa bingung, entah apa yang mesti dilakukannya.
“Apakah aku harus menjual diriku demi kesembuhan Ibuku?, pikir Ana dalam hati”.
Setelah lama berpikir, kemudian ia memutuskan untuk berani menjual satu-satunya kehormatan yang ia miliki. Akhirnya Ana pergi ke suatu tempat bersama Rani, ia berharap bisa mendapatkan banyak uang disana. Ana berjalan agak ragu memasuki tempat tersebut, setelah masuk ia melihat orang-orang yang sedang asik berjoged sambil memmegang sebotol minuman ditangannya.
“Sebenarnya tempat apakah ini, kenapa orang-orang disini begitu asik dan seakan-akan tak ada beban dalam hidupnya”, Pikir Ana dalam hati.
“Ran, tempat apakah ini?”, Tanya Ana.
“Ini adalah sebuah cafe atau bar, tempat dimana orang bisa mendapatkan kesenangan dunia, dan disini kita bisa mendapatkan banyak uang”, Sahut Rani.
“Ana bingung, karena seumur hidup ia tak pernah masuk ke tempat ini, tanda tanya besar menggerutu dalam hatinya”.
Kemudian mereka berdua duduk di pojok sebuah ruangan dan berharap ada mangsa yang menghampiri mereka. Tak lama kemudian ada seorang pria menghampiri mereka. Pria itu tak lain adalah pelanggan tetap Rani.
“Ana, kau tunggu saja disini”, sahut Rani.
“Lantas kamu mau kemana Ran?”, tanya Ana.
“Aku mau pergi dulu sebentar An, memuaskan pelangganku. Kamu tinggal duduk, nanti pasti ada seseorang yang akan menghampirimu.”, jawab Rani.
Tak berapa lama, Rani pergi bersama pria itu menuju suatu ruangan. Ditinggalkannya Ana seorang diri dalam cafe itu.
“Apakah itu pekerjaan yang selalu dikerjakan oleh Rani?”, pikir Ana dalam hati.
Disudut sebuah meja bar, seorang pelayan cafe memperhatikan gerak gerik Ana, ia merasa curiga kepada gadis remaja itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas kearah gadis remaja itu yang duduk di sebuah meja yang agak di pojok.
Pelayan cafe itu memperhatikan sekian lama, dan berfikir ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap gadis remaja itu. Karena sudah dua kali waiter mendatanginya, tapi gadis remaja itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang makanan dan minuman yang dipesan olehnya.
“Lantas untuk apa gadis remaja itu duduk seorang diri , adakah seseorang yang yang sedang ditunggunya”, pikirnya dalam hati.
Pelayan cafe itu mulai berpikir bahwa gadis remaja itu bukanlah tipe gadis nakal yang biasa mencari mangsa di cafe ini. Usianya belum nampak terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang masih anak-anak, karena usianya yang tengah menginjak remaja.
Setelah sekian lama memperhatikan gadis remaja itu, akhirnya memaksa pelayan cafe itu untuk mendekati tempat meja gadis remaja itu dan bertanya :
“Maaf nak,,  apakah anda sedang menunggu seseorang disini?”
“Tidak!, jawab Ana sambil mengalihkan wajah ke tempat lain.
“Lantas untuk apa anda duduk di sini seorang diri?“, Tanya pelayan cafe itu dengan raut wajah yang mengkerut seakan kebingungan.
“Apakah tidak boleh, aku duduk disini?”, Ana mulai memandang ke arah pelayan cafe itu.
“Maaf nak, ini tempat untuk bersenang-senang”.
“Maksud, bapak apa?”
“Anda harus memesan sesuatu agar bisa duduk disini”
“Nanti saya akan memesan setelah saya dapat uang. Tapi sekarang izinkanlah saya untuk duduk disini untuk sesuatu yang akan saya jual”, jawab Ana dengan suara yang lambat.
“Jual?”, lantas apakah yang akan anda jual disini nak?”. Pelayan cafe itu merasa heran, karena tak nampak ada barang yang akan dijual.
“Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, tapi ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti nak.”
“Saya hanya ingin menjual diri saya pak,” kata Ana dengan tegas sambil menatap dalam-dalam kearah pealayan cafe itu. Pelayan cafe itu terkesima dan merasa sangat kaget dengan yang dikatakan Ana.
“Apakah anda yakin nak?”
“Saya begitu yakin pak, dengan yang saya akan jual”
“Kalau begitu mari ikut dengan saya,” kata pelayan cafe itu memberikan isyarat dengan tangannya.
Ana merasa ada sesuatu tindakan mencurigakan, karena ada secuil senyuman di wajah pelayan cafe itu. Tanpa ragu Ana melangkah mengikuti pelayan cafe itu. Di koridor cafe terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar cafe ini. Di tempat inilah transaksi berlangsung.
“Apakah anda serius nak?” Tanya pelayan cafe itu.
“Saya serius pak,” jawab Ana dengan tegas dan nada yang keras.
“Berapakah tarif yang anda minta nak?”
“Setinggi-tingginya pak.”
“Mengapa kamu mematok tarif yang begitu tinggi nak?” Tanya satpam itu dengan wajah yang kaget.
“Saya masih perawan pak”
“Apa, perawan?” pelayan cafe itu begitu terkejut dengan wajah yang berseri-seri. “Wah, peluang emas untuk mendapatkan rezeki lebih hari ini”, pikirnya itu dalam hati”.
“Bagaimana saya tahu anda masih perawan nak?”
“Gampang sekali. Semua pria dewasa pasti tahu, membedakan mana yang masih perawan dan mana yang bukan”.
“Kalau tidak terbukti?”
“Tidak usah bayar pak”
“Baiklah…” pelayan cafe itu menghela nafas, kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.
“Saya akan membantu mendapatkan lelaki kaya yang ingin membeli keperawanan anda.”
“Cobalah, saya ingin tahu berapa tarif yang kamu minta nak?”
“Setinggi-tingginya pak”
“Berapa”
“Saya tidak tahu berapa pak, yang pasti tarif paling tinggi, itu yang saya mau”
“Baiklah saya akan tawarkan kepada tamu cafe ini. Tunggu sebentar ya”. Pelayan cafe itu kemudian pergi dan mencari tamu yang berniat membeli keperawanan Ana.
Tak beberapa lama kemudian, pelayan cafe itu datang lagi dengan wajah yang cerah.
“Saya sudah dapatkan seorang penawar nak. Dia minta Rp 3 juta. Bagaimana nak?”
“Tidak adakah yang lebih tinggi?”
“Ini harga yang cukup tinggi nak,” pelayan cafe itu mencoba meyakinkan.
“Maaf pak, saya ingin harga yang lebih tinggi. Itu belum cukup bagiku”. Sahut Ana.
“Baiklah, saya akan carikan yang lebih tinggi. Tunggu disini”. Kemudian pelayan cafe itu pun pergi. Tak beberapa lama kemudian pelayan cafe itu pun kembali.
“Saya sudah dapatkan harga yang lebih tinggi nak, Rp 4 juta rupiah. Bagaimana?”
“Maaf pak, tidak adakah harga yang lebih tinggi?“
“Nak, ini sudah harga yang paling tinggi dan sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Atau keperawanan anda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali janji manis dari pacar anda. Dengan uang 4 juta anda bisa membeli apa saja nak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik kepada saya, karena saya akan mendapatkan komisi dari tamu cafe itu, adilkan. Kita ini sama-sama butuh nak.”
“Tapi saya masih ingin tarif yang lebih dari itu pak”, jawab Ana tanpa memperdulikan ocehan dari pelayan cafe itu. Pelayan cafe itu kemudian terdiam, namun ia tidak kehilangan semangat untuk terus membujuk Ana.
“Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya, dan tolong bukakan sedikit baju anda nak. Agar ada sesuatu yang dapat memancing mata orang untuk membeli anda”. Kata pelayan cafe itu dengan nada yang begitu kesal. Ana tak peduli dengan saran pelayan cafe itu tapi tetap mengikuti langkah pelayan cafe itu memasuki lift.
Tak berselang beberapa lama, terlihat seorang pria sedang duduk seorang diri dalam sebuah kamar. Kemudian pelayan cafe itu, menghampiri pria tersebut dan mengajaknya mengobrol.
“Maaf tuan, apakah anda membutuhkan seseorang untuk menemani anda malam ini?”, sahut pelayan cafe itu.
“Ya, boleh saja, tapi apakah dia gadis yang selalu mangkal di tempat ini?, tanya pria itu.
“Bukan tuan, dia orang baru, dan dia juga masih perawan pak”, jawab pelayan cafe itu.
“Akh yang benar kau, jangan-jangan kau hanya berbohong”
“Benar tuan, jika saya berbohong anda tidak usah bayar”, jawab pelayan cafe itu.
“Berapakah tarif yang dia minta?”
“Katanya sih setinggi-tingginya tuan, anda bisa tanyakan langsung kepada dia”, sahut pelayan cafe itu dengan nada yang lantang.
“Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang?“ kata pria itu kepada pelayan cafe itu.
“Rp. 4 juta tuan”
“Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 6 juta untuk semalam.”
Ana pun terdiam.
Pelayan cafe itu memandang ke arah Ana dan berharap ada jawaban bagus darinya.
“Bagaimana?” Tanya pria itu.
“Saya ingin yang lebih tinggi lagi pak” kata Ana.
Petugas satpam itu tersenyum kecut.
“Yang benar saja kau nak, itu harga yang pantas untukmu”, sahut pria itu.
“Tapi itu belum cukup untukku pak”, jawab Ana.
“Kalau begitu, bawa wanita itu pergi” kata pria itu kepada pelayan cafe sambil menutup pintu dengan keras.
“Nak, anda benar-benar telah membuat saya kesal. Apakah anda benar-benar ingin menjual atau tidak?”
“Tentu!”
“Kalau begitu  mengapa anda menolak harga tertinggi itu …”
“Saya minta harga yang lebih tinggi lagi, itu belum cukup buatku”, jawab Ana.
Kalau begitu kamu tunggu sebentar disini, saya akan mencarikan orang yang mau membayar kamu dengan  harga yang tinggi. Kemudian pelayan cafe itu pergi dan berharap menemukan orang yang mau membayar dengan harga yang tinggi. Dia menelusuri setiap kamar yang ada di dalam hotel. Tak berselang beberapa lama, ia melihat ada seorang pria yang sedang duduk di depan sebuah kamar. Ia pun menghampiri, dan kemudian bertanya:
Maaf pak, apa yang sedang anda tunggu, apakah anda membutuhkan seseorang untuk menemani anda malam ini?”
“Maksud anda apa?” Jawab pria itu.
“Ya, barangkali saja anda membutuhkan seorang gadis untuk menemani kesepian anda”.
Pria itu menatap sekilas kearah pelayan cafe itu dan kemudian memalingkan wajahnya.
“Ada seorang gadis remaja yang duduk disana,” Pelayan cafe itu menunjuk kearah Ana.
Pelayan cafe itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.
“Dia masih perawan ...”
Pria itu mendekati pelayan cafe itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.
“Benarkah itu?”
“Benar, pak”
“Kalau begitu kenalkan saya dengan gadis remaja itu …”
“Dengan senang hati pak. Tapi gadis remaja itu minta harga setinggi-tingginya.”
“Saya tak peduli …” Pria itu menjawab dengan tegas.
“Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta nak, nah sekarang seriuslah …” Kata pelayan cafe itu dengan wajah yang begitu senang.
“Kalau begitu, mari kita bicara dikamar saja”. Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada pelayan cafe itu. Akhirnya Ana mengikuti pria itu masuk menuju kamarnya.
Didalam kamar…
“Beritahu, berapa harga yang kamu minta nak?”
“Setinggi-tingginya pak, seharga kesembuhan untuk ibu saya dari penyakit.
“Maksud kamu?”
“Saya ingin menjual satu-satunya harta dan kehormatan saya demi kesembuhan ibu saya. Itulah bagaimana cara saya berterima kasih…”
“Hanya itu …”
“Ya …!”
Pria itu memperhatikan wajah gadis remaja itu. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Gadis remaja itu tidak menjual cintanya, tidak pula menjual penderitaanya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung yang gagah berani ditengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa dihadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi kehormatan sebuah keperawanan bagi gadis remaja itu. Yaitu pengorbanan dan pengabdian untuk seoarang ibu yang menurutnya begitu berharga, yang lebih berharga darinya. Gadis remaja itu tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa ia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi.
“Kalau boleh tahu, siapa nama kamu nak?”
“Ana” jawab gadis remaja itu. “Sebutkanlah, berapa harga yang bisa bapak bayar untuk kehormatan saya?” Tanya Ana.
“Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar.”
“Kalau begitu, tidak ada kesepakatan!”
“Ada!” Kata pria itu seketika.
“Sebutkan!”
“Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu. Terimalah uang ini, jumlahnya lebih dari cukup untuk biaya operasi ibu kamu. Dan sekarang pulanglah ...” Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.
“Saya tak mengerti pak …”
“Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya. Dia selalu menikmati pemberian uang dari saya, tapi tidak pernah berterima kasih. Selalu memeras. Sekali saya memberi, selamanya dia akan terus meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari seorang gadis remaja yang gagah berani dan rela berkorban bagi orang tuanya. Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar …”
“Dan, apakah bapak ikhlas …?”
“Apakah uang ini kurang?”
“Lebih dari cukup, pak …”
“Sebelum kamu pergi, bolehkah saya bertanya satu hal?”
“Silahkan…”
“Mengapa kamu begitu beraninya …”
“Siapa bilang saya berani. Saya takut pak …
Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mencari uang untuk biaya operasi ibu, saya sudah kesana kemari mencari pinjaman tapi semuanya gagal. Hingga seorang teman menyarankan saya untuk pergi ke cafe ini, karena disini bisa mendapatkan jumlah uang yang besar dalam waktu singkat. Makanya saya memberanikan diri datang ke cafe ini untuk menjual kehormatan saya. Ketika saya berniat menjual kehormatan saya, itu bukanlah karena dorongan nafsu. Bukan pula pertimbangan akal saya yang ‘bodoh’ … Saya hanya bersikap dan berbuat untuk suatu keyakinan …”
“Keyakinan apa?”
“Jika kita berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhanlah yang akan menjaga kehormatan kita …” Kemudian Ana melangkah keluar dari kamar itu.
“Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini?”
“Kesadaran”, jawab pria itu.
“Saya tak mengira, ternyata anda sebaik itu pak. Terima kasih atas uang yang bapak berikan kepada saya.”
“Ya sama-sama nak, itu tak seberapa dibandingkan kesembuhan ibu kamu. Sekarang, segeralah bayarkan uang itu untuk operasi ibu kamu”.
“Baik pak”.
Setelah mendapatkan uang, Ana segera pergi menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit ia segera menemui Dokter dan menyerakhan uang untuk biaya operasi ibunya. Di sebuah ruangan di dalam rumah sakit, seorang ibu yang sedang berbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.
“Kamu sudah pulang, nak?”
“Ya, bu…”
“Kemana saja kamu, nak?”
“Menjual sesuatu, bu …”
“Lantas, apa yang kamu jual?” Ibu itu menampakan wajah keheranan. Tapi Ana hanya tersenyum …
“Aku hanya menjual sesuatu yang berharga dalam hidupku bu”.
“Lantas apa yang kamu jual nak?”.
“Kehormatanku”.
“Kenapa kamu rela menjual satu-satunya kehormatan yang kamu punya nak?”.
“Tapi ibu tak usah mencemaskanku, karena kehormatan yang aku punya masih utuh”.
“Maksud kamu apa nak?”.
“Ada seorang pria setengah baya yang baik hati, yang memberikan uang tanpa kujual kehormatanku. Tapi yang terpenting sekarang ibu harus segera di operasi.”
“Baiklah nak”.
Hidup sebagai anak yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situsi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang, membeli dan menjual adalah keseharian yang tak  bisa dielakkan. Pengorbanan untuk orang tua yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh keyakinan tak akan pernah sia-sia, karena Tuhan itu Maha adil. Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan.
Di pojok sebuah ruangan ia terus menunggu, dengan wajah raut wajah yang pucat mencrminkan ia sangat cemas akan keadaan ibunya yang sedang di operasi. Tak henti-hentinya untaian-untaian doa keluar dari dalam bibirnya. Ia berharap operasi ibunya bisa berjalan dengan lancar, dan bisa sembuh seperti biasanya.
“Ya Tuhan, sembuhkanlah ibuku. Aku gak mau kehilangan dia, karena dia adalah seseorang yang aku punya dalam kehidupanku. Lancarkanlah operasi ibuku ya Tuhan”. Pikir Ana dalam hati.
Setelah menunggu hampir 2 jam lamanya, akhirnya seorang dokter keluar dari ruangan operasi. Ana bergegas menhampiri dan bertanya.
“Dokter, bagaimana keadaan ibuku”.  Sahut Ana.
“Ibumu baik-baik saja nak, kami berhasil mengoperasi ibumu. Ibumu sekarang sudah sembuh, dan sekarang kamu bisa menemuinya di dalam”.
“Terima kasih banyak dok, anda telah menyelamatkan ibuku”.
“Sama-sama nak, berkat doamu kami bisa menyelamatkan ibumu”.
Ana bergegas masuk ke dalam. Dilihatnya seorang ibu yang sedang berbaring dengan selang infus di tangannya. Ia segera menghampiri dan memeluknya dengan erat.



*****




THE END

No comments:

Post a Comment

Puisi "Awal yang Baru"

  AWAL YANG BARU Karya Ade Irawan Setiawan   Saat malam mulai datang Suasana sunyi senyap Aku terbujur dalam kekakuan Karena hati ...